Berdikari.co,
Bandar Lampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan metode
penelusuran aliran dana untuk mengungkap lebih jauh kasus dugaan suap proyek
atau gratifikasi yang melibatkan Bupati Lampung Tengah (Lamteng), Ardito Wijaya
(AW).
KPK
menjelaskan, penelusuran aliran uang dilakukan sebagai bagian dari upaya
pengembalian kerugian negara. Dengan metode tersebut, aset-aset yang berkaitan
dengan perkara dapat dibongkar.
Pelaksana
Harian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungki Hadipratikno, mengatakan KPK
akan melakukan pelacakan aset, terutama yang berkaitan dengan aliran dana.
Penelusuran dilakukan dengan metode follow the money.
“Bagaimana
uang yang diterima, asalnya dari mana, kemudian larinya ke mana, digunakan
untuk apa,” ujar Mungki, Jumat (12/12/2025).
Ia
menjelaskan, KPK menemukan indikasi bahwa Ardito Wijaya memperoleh suap untuk
keperluan melunasi utang kampanye di bank. KPK pun membuka peluang membongkar
aliran dana ke kebutuhan politik lainnya.
“Tidak
tertutup kemungkinan, mungkin ada sebagian yang sudah digunakan untuk
kepentingan-kepentingan politik yang lain,” ucap Mungki.
Menurutnya,
penelusuran aliran dana tersebut melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) serta pihak perbankan. KPK menegaskan tidak ada
pihak yang kebal dari penyidikan apabila ditemukan aliran dana mencurigakan.
“Tekniknya
tentu berbagai macam teknik kita gunakan, bekerja sama dengan PPATK, kemudian
juga dengan pihak perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait,” ujarnya.
Juru
Bicara KPK, Budi Prasetyo, menambahkan bahwa kasus dugaan korupsi yang
melibatkan Bupati Lamteng Ardito Wijaya mencerminkan lemahnya sistem rekrutmen
partai politik. Sistem kaderisasi yang lemah dinilai memicu praktik mahar
politik dalam setiap pemilihan.
“Permasalahan
mendasar adalah lemahnya integrasi rekrutmen dengan kaderisasi yang memicu
adanya mahar politik, tingginya kader yang berpindah-pindah antarpartai
politik, serta kandidasi yang hanya berdasarkan kekuatan finansial dan
popularitas,” ujar Budi Prasetyo, Minggu (14/12/2025).
Selain
itu, Budi menyebut dugaan penerimaan uang sebesar Rp5,25 miliar yang digunakan
Ardito Wijaya untuk melunasi pinjaman bank guna kebutuhan kampanye Pilkada 2024
menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia.
“Hal
ini menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia yang mengakibatkan
kepala daerah terpilih memiliki beban besar untuk mengembalikan modal politik
tersebut, dan sayangnya dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, yaitu
korupsi,” katanya.
Budi
juga menyampaikan bahwa kasus Ardito Wijaya mengonfirmasi salah satu hipotesis
dalam kajian tata kelola partai politik yang tengah dilakukan KPK, yakni
tingginya kebutuhan dana partai politik untuk pemenangan pemilu, operasional,
hingga pendanaan berbagai kegiatan seperti kongres atau musyawarah partai.
Hipotesis
lainnya adalah tidak akuntabel dan tidak transparannya laporan keuangan partai
politik, sehingga memicu ketidakmampuan mencegah aliran uang yang tidak sah.
“KPK
mendorong pentingnya standardisasi sistem pelaporan keuangan partai politik
agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,” ujarnya.
Meski
demikian, Budi mengatakan KPK masih melengkapi kajian tersebut sebelum
menyerahkannya kepada para pemangku kepentingan terkait sebagai upaya
pencegahan korupsi.
Sementara
itu, Praktisi Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (UIN RIL),
Yasir A. Rapat, menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang berujung pada
penetapan tersangka terhadap Bupati Lamteng Ardito Wijaya sebagai aib besar
yang mencoreng wajah daerah di tingkat nasional.
“OTT
hingga penetapan tersangka kepala daerah jelas merusak wajah Lampung. Ini bukan
sekadar memalukan, tetapi memalukan secara nasional. Kepala daerah harus
berhenti bermain-main dengan kekuasaan,” kata Yasir, Jumat (12/12/2025).
Ia
menjelaskan, kasus ini mencuat hanya berselang beberapa waktu setelah
Monitoring Center for Strategic Prevention (MCSP) mengumumkan capaian
pencegahan korupsi Pemerintah Provinsi Lampung. Dalam penilaian tersebut,
Lampung mencatat 80 poin dan berada di peringkat keenam nasional.
“Ketika
Lampung baru saja mendapat apresiasi nasional, justru ada kepala daerah yang
tersandung kasus korupsi. Ini preseden buruk bagi Lampung,” ujar Yasir.
Yasir
menilai rangkaian proses mulai dari OTT hingga penetapan tersangka menunjukkan
adanya dugaan kuat praktik korupsi yang tidak bisa lagi dianggap sebagai
insiden kecil.
“Jika
OTT sudah dilakukan dan berlanjut hingga penetapan tersangka, itu berarti
perilaku koruptifnya bukan kebetulan. Ini tindakan yang tidak bisa
ditoleransi,” tegasnya.
Ia
meminta seluruh kepala daerah di Lampung menjadikan kasus ini sebagai
peringatan keras untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.
“Para
pemimpin harus menghentikan budaya transaksional jabatan dan proyek, tidak
bermain-main dalam pengelolaan anggaran, serta mematuhi aturan
perundang-undangan secara konsisten,” ujarnya.
Selain
itu, ia menekankan pentingnya menjaga integritas di tengah meningkatnya sorotan
publik agar tidak merusak reputasi Lampung yang tengah mendapatkan pengakuan
nasional.
“Jika
Lampung sudah dipuji KPK karena upaya pencegahannya, jangan sampai dirusak oleh
tindakan koruptif para pemimpinnya. Jika tidak mampu menjaga amanah, lebih baik
mundur daripada mempermalukan daerah,” pungkasnya. (*)

berdikari









