Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 15 Desember 2025

KPK Gandeng PPATK Lacak Aliran Dana Bupati Ardito Wijaya

Oleh ADMIN

Berita
Pelaksana Harian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungki Hadipratikno. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan metode penelusuran aliran dana untuk mengungkap lebih jauh kasus dugaan suap proyek atau gratifikasi yang melibatkan Bupati Lampung Tengah (Lamteng), Ardito Wijaya (AW).

KPK menjelaskan, penelusuran aliran uang dilakukan sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian negara. Dengan metode tersebut, aset-aset yang berkaitan dengan perkara dapat dibongkar.

Pelaksana Harian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungki Hadipratikno, mengatakan KPK akan melakukan pelacakan aset, terutama yang berkaitan dengan aliran dana. Penelusuran dilakukan dengan metode follow the money.

“Bagaimana uang yang diterima, asalnya dari mana, kemudian larinya ke mana, digunakan untuk apa,” ujar Mungki, Jumat (12/12/2025).

Ia menjelaskan, KPK menemukan indikasi bahwa Ardito Wijaya memperoleh suap untuk keperluan melunasi utang kampanye di bank. KPK pun membuka peluang membongkar aliran dana ke kebutuhan politik lainnya.

“Tidak tertutup kemungkinan, mungkin ada sebagian yang sudah digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik yang lain,” ucap Mungki.

Menurutnya, penelusuran aliran dana tersebut melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta pihak perbankan. KPK menegaskan tidak ada pihak yang kebal dari penyidikan apabila ditemukan aliran dana mencurigakan.

“Tekniknya tentu berbagai macam teknik kita gunakan, bekerja sama dengan PPATK, kemudian juga dengan pihak perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait,” ujarnya.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menambahkan bahwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Lamteng Ardito Wijaya mencerminkan lemahnya sistem rekrutmen partai politik. Sistem kaderisasi yang lemah dinilai memicu praktik mahar politik dalam setiap pemilihan.

“Permasalahan mendasar adalah lemahnya integrasi rekrutmen dengan kaderisasi yang memicu adanya mahar politik, tingginya kader yang berpindah-pindah antarpartai politik, serta kandidasi yang hanya berdasarkan kekuatan finansial dan popularitas,” ujar Budi Prasetyo, Minggu (14/12/2025).

Selain itu, Budi menyebut dugaan penerimaan uang sebesar Rp5,25 miliar yang digunakan Ardito Wijaya untuk melunasi pinjaman bank guna kebutuhan kampanye Pilkada 2024 menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia.

“Hal ini menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia yang mengakibatkan kepala daerah terpilih memiliki beban besar untuk mengembalikan modal politik tersebut, dan sayangnya dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, yaitu korupsi,” katanya.

Budi juga menyampaikan bahwa kasus Ardito Wijaya mengonfirmasi salah satu hipotesis dalam kajian tata kelola partai politik yang tengah dilakukan KPK, yakni tingginya kebutuhan dana partai politik untuk pemenangan pemilu, operasional, hingga pendanaan berbagai kegiatan seperti kongres atau musyawarah partai.

Hipotesis lainnya adalah tidak akuntabel dan tidak transparannya laporan keuangan partai politik, sehingga memicu ketidakmampuan mencegah aliran uang yang tidak sah.

“KPK mendorong pentingnya standardisasi sistem pelaporan keuangan partai politik agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,” ujarnya.

Meski demikian, Budi mengatakan KPK masih melengkapi kajian tersebut sebelum menyerahkannya kepada para pemangku kepentingan terkait sebagai upaya pencegahan korupsi.

Sementara itu, Praktisi Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (UIN RIL), Yasir A. Rapat, menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang berujung pada penetapan tersangka terhadap Bupati Lamteng Ardito Wijaya sebagai aib besar yang mencoreng wajah daerah di tingkat nasional.

“OTT hingga penetapan tersangka kepala daerah jelas merusak wajah Lampung. Ini bukan sekadar memalukan, tetapi memalukan secara nasional. Kepala daerah harus berhenti bermain-main dengan kekuasaan,” kata Yasir, Jumat (12/12/2025).

Ia menjelaskan, kasus ini mencuat hanya berselang beberapa waktu setelah Monitoring Center for Strategic Prevention (MCSP) mengumumkan capaian pencegahan korupsi Pemerintah Provinsi Lampung. Dalam penilaian tersebut, Lampung mencatat 80 poin dan berada di peringkat keenam nasional.

“Ketika Lampung baru saja mendapat apresiasi nasional, justru ada kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Ini preseden buruk bagi Lampung,” ujar Yasir.

Yasir menilai rangkaian proses mulai dari OTT hingga penetapan tersangka menunjukkan adanya dugaan kuat praktik korupsi yang tidak bisa lagi dianggap sebagai insiden kecil.

“Jika OTT sudah dilakukan dan berlanjut hingga penetapan tersangka, itu berarti perilaku koruptifnya bukan kebetulan. Ini tindakan yang tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.

Ia meminta seluruh kepala daerah di Lampung menjadikan kasus ini sebagai peringatan keras untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.

“Para pemimpin harus menghentikan budaya transaksional jabatan dan proyek, tidak bermain-main dalam pengelolaan anggaran, serta mematuhi aturan perundang-undangan secara konsisten,” ujarnya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya menjaga integritas di tengah meningkatnya sorotan publik agar tidak merusak reputasi Lampung yang tengah mendapatkan pengakuan nasional.

“Jika Lampung sudah dipuji KPK karena upaya pencegahannya, jangan sampai dirusak oleh tindakan koruptif para pemimpinnya. Jika tidak mampu menjaga amanah, lebih baik mundur daripada mempermalukan daerah,” pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas