Berdikari.co,
Bandar Lampung - Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Garinca Reza Pahlevi,
menyebut penyusunan KUHAP baru telah melalui proses panjang dengan melibatkan
berbagai pihak.
Ia
mengatakan pembaruan hukum perlu dilakukan untuk menyesuaikan dinamika sosial
dan perkembangan zaman.
“Proses
pengesahan KUHAP melalui banyak tahapan, termasuk pembahasan bersama
stakeholder dan masyarakat. KUHAP baru yang akan berlaku pada 2026 ini menjadi
bentuk penyesuaian hukum dengan kondisi zaman. Pembaruan hukum memang harus
dilakukan,” kata Garinca, Kamis (20/11/2025).
Garinca
menerangkan apabila masyarakat menilai terdapat pasal kontroversial, mekanisme
koreksi tetap tersedia secara konstitusional.
“Kalau
ada pasal yang dianggap kontroversial, masyarakat bisa mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Itu mekanisme resmi yang disediakan negara. Dan jika
MK sudah memutuskan, putusannya bersifat mengikat,” ujarnya.
Sementara
itu, Sekretaris Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Ade Utami Ibnu, menambahkan
bahwa kritik masyarakat terkait pengesahan RKUHAP bukan hal yang perlu
dikhawatirkan, melainkan bagian dari iklim demokrasi yang sehat.
Menurutnya,
suara publik justru menjadi elemen penting dalam memastikan setiap produk hukum
tetap relevan dan berorientasi pada keadilan.
“Dengan
pengesahan KUHAP ini, kita berharap ada penguatan penegakan hukum dan keadilan.
Undang-undang sebelumnya sudah terlalu lama, jadi pembaruan ini harus
benar-benar melahirkan hukum yang membumi. Penegak hukum adalah wakil Tuhan
dalam menegakkan keadilan, maka profesionalitas harus dijunjung,” kata Ade.
Ia
juga menekankan bahwa penolakan masyarakat terhadap sebuah undang-undang
merupakan hal wajar. Negara, ujarnya, tidak boleh menutup ruang kritik karena
partisipasi publik adalah pilar penting dalam pembentukan legislasi.
“Pengesahan produk hukum di DPR RI pasti melalui tahapan partisipasi publik, biasanya dilakukan melalui uji publik dan sosialisasi. Namun penolakan dari masyarakat tetap sah dalam negara demokrasi. Aspirasi itu tidak boleh dibungkam dan harus menjadi catatan. Jika suatu saat undang-undang tidak lagi relevan, revisi bisa dilakukan. Masyarakat pun berhak mengajukan judicial review,” jelasnya. (*)

berdikari









