Berdikari.co,
Bandar Lampung - Pengamat Pertanian Universitas Lampung (Unila), Teguh
Endaryanto, mengingatkan adanya ancaman mengecilnya peran ekonomi lada dalam
5-10 tahun ke depan.
Menurut
Teguh, penurunan produksi lada di Provinsi Lampung dalam dua dekade terakhir
telah memasuki fase kritis. Kondisi ini membuat Indonesia, yang dulunya dikenal
sebagai salah satu raksasa lada dunia, kini berubah menjadi negara pengimpor.
Ia
mengatakan tanpa intervensi serius, komoditas yang pernah menjadi primadona
ekspor Lampung ini akan semakin kehilangan peran strategisnya dalam
perekonomian daerah.
Teguh
menegaskan bahwa tren penurunan ini bukan sekadar anomali sesaat. “Kalau lihat
data 2019 sampai 2023, trennya jelas turun. Jika tidak segera diantisipasi,
produksi lada akan terus merosot,” ujar Teguh, Minggu (16/11/2025).
Ia
menerangkan, ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan tersebut, mulai dari
tanaman yang sudah tua, serangan penyakit, kurangnya perawatan, perubahan
iklim, hingga meningkatnya alih fungsi lahan.
“Harga
memang sekarang lumayan, Rp90 ribuan per kilogram, tapi 3 sampai 5 tahun lalu
hanya 40 ribuan per kilogram. Kondisi ini membuat petani enggan merawat apalagi
meremajakan tanaman,” katanya.
Teguh
juga memperingatkan bahwa tanpa langkah besar dalam peremajaan dan hilirisasi,
dalam jangka menengah dan panjang peran lada dalam ekonomi Lampung bisa semakin
mengecil. “Peremajaan yang tidak masif dan alih fungsi lahan semakin tinggi,
maka produksi akan terus turun. Jika tren ini tidak diintervensi dengan baik,
kita khawatir kontribusi ekonomi lada Lampung semakin kecil,” ujarnya.
Ia
menegaskan, daerah sentra lada seperti Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Timur,
Pesisir Barat, dan Tanggamus harus menjadi fokus revitalisasi dengan teknologi
yang lebih baik dan strategi hilirisasi yang jelas.
Teguh
mengungkapkan bahwa turunnya target produksi 2025 menjadi sinyal bahwa
pemerintah daerah sendiri melihat tantangan besar di lapangan. “Jika dalam 5-10
tahun ke depan tidak ada terobosan dalam peremajaan tanaman, perbaikan
budidaya, serta penguatan hilirisasi dan pasar, maka produksi akan semakin
menurun,” tandasnya.
Produksi
lada nasional saat ini masih didominasi dua provinsi yakni Lampung dan Bangka
Belitung (Babel). Informasi yang dihimpun Kupas Tuntas menunjukkan bahwa
Indonesia mulai mengimpor lada akibat tren penurunan produksi nasional dalam
dua dekade terakhir, ditandai dengan menyusutnya luas areal perkebunan dan
rendahnya produktivitas.
Kondisi
ini semakin diperparah berbagai faktor struktural seperti penyakit, rendahnya
regenerasi petani, dan minimnya daya saing ekspor. Situasi tersebut sangat
berbanding terbalik dengan masa ketika Indonesia menjadi produsen lada utama
dunia.
Luas
areal lada nasional pada 2024 tercatat hanya 152.141 hektare, turun tajam dari
204.364 hektare pada 2003. Produksi pun merosot dari 90.740 ton pada 2003
menjadi 58.897 ton pada 2024. Negara yang memasok impor lada untuk Indonesia
antara lain Vietnam, Thailand, Australia, Malaysia, Belanda, Jepang, dan Korea
Selatan.
Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Tanaman Perkebunan Tahunan
Indonesia 2024, penurunan luas lahan mencapai 25 persen dalam kurun dua dekade.
Penurunan ini menjadi sinyal tekanan struktural pada industri lada nasional,
baik dari sisi produktivitas, regenerasi petani, maupun daya saing ekspor.
Kementerian
Pertanian mencatat seluruh produksi lada Indonesia berasal dari perkebunan
rakyat, tanpa kontribusi perusahaan besar. Artinya, rantai produksi masih
didominasi petani kecil yang sangat bergantung pada harga pasar dan kondisi
cuaca. Ketika harga terpuruk, banyak petani memilih beralih ke komoditas lain
seperti sawit atau karet.
Secara
spasial, Lampung dan Bangka Belitung menjadi dua provinsi penyumbang produksi
terbesar dengan masing-masing 15.791 ton (26,8%) dan 12.009 ton (20,3%). Provinsi
lain seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara juga berperan, meski
kontribusinya relatif kecil.
Produktivitas
lada nasional juga turun. Pada 2023 produktivitas mencapai sekitar 617 kg per
hektare, namun pada 2024 turun menjadi 616 kg per hektare. Meski terlihat
kecil, tren ini menunjukkan stagnasi produktivitas.
Dari
sisi perdagangan, ekspor lada pada 2024 mencapai 55.475 ton senilai US$ 311,28
juta, naik dari tahun sebelumnya. Namun impor justru meningkat tajam dari 450
ton pada 2023 menjadi 1.097 ton pada 2024, didominasi lada hitam sebanyak 944
ton.
Kenaikan
impor di tengah menurunnya produksi domestik mengindikasikan kebutuhan industri
pengolahan yang tidak mampu dipenuhi pasokan lokal, sekaligus menunjukkan
adanya kesenjangan kualitas yang membuat pelaku industri memilih produk impor.
Kategori
ekspor terbesar adalah lada putih (HS 09041110) yang menyumbang 51,8 persen
dari total ekspor 2024. Negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Vietnam,
diikuti China dan India.
Dalam
perbandingan jangka panjang, ekspor lada Indonesia telah turun dari lebih dari
60 ribu ton di awal 2010-an menjadi rata-rata di bawah 50 ribu ton per tahun
dalam beberapa tahun terakhir. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berpotensi
kehilangan posisi strategis dalam rantai pasok lada global.
Data
Kementerian Pertanian juga menunjukkan perubahan luas areal dan produksi lada
nasional 2015–2024. Pada 2015 luas areal tercatat 167.590 hektare, kemudian
meningkat hingga 191.570 hektare pada 2020. Namun sejak 2021 luas lahan terus
turun hingga mencapai 152.140 hektare pada 2024.
Sementara
itu, produksi lada kering pada 2015 mencapai 81.500 ton, naik menjadi 88.240
ton pada 2018, lalu turun bertahap hingga hanya 58.900 ton pada 2024.
(*)

berdikari









