Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 17 November 2025

Pengamat: Produksi Lada Lampung Masuk Fase Kritis, Luas Lahan dan Produksi Terus Turun

Oleh ADMIN

Berita
Pengamat Pertanian Universitas Lampung (Unila), Teguh Endaryanto. Foto: Dok Unila

Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Pertanian Universitas Lampung (Unila), Teguh Endaryanto, mengingatkan adanya ancaman mengecilnya peran ekonomi lada dalam 5-10 tahun ke depan.

Menurut Teguh, penurunan produksi lada di Provinsi Lampung dalam dua dekade terakhir telah memasuki fase kritis. Kondisi ini membuat Indonesia, yang dulunya dikenal sebagai salah satu raksasa lada dunia, kini berubah menjadi negara pengimpor.

Ia mengatakan tanpa intervensi serius, komoditas yang pernah menjadi primadona ekspor Lampung ini akan semakin kehilangan peran strategisnya dalam perekonomian daerah.

Teguh menegaskan bahwa tren penurunan ini bukan sekadar anomali sesaat. “Kalau lihat data 2019 sampai 2023, trennya jelas turun. Jika tidak segera diantisipasi, produksi lada akan terus merosot,” ujar Teguh, Minggu (16/11/2025).

Ia menerangkan, ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan tersebut, mulai dari tanaman yang sudah tua, serangan penyakit, kurangnya perawatan, perubahan iklim, hingga meningkatnya alih fungsi lahan.

“Harga memang sekarang lumayan, Rp90 ribuan per kilogram, tapi 3 sampai 5 tahun lalu hanya 40 ribuan per kilogram. Kondisi ini membuat petani enggan merawat apalagi meremajakan tanaman,” katanya.

Teguh juga memperingatkan bahwa tanpa langkah besar dalam peremajaan dan hilirisasi, dalam jangka menengah dan panjang peran lada dalam ekonomi Lampung bisa semakin mengecil. “Peremajaan yang tidak masif dan alih fungsi lahan semakin tinggi, maka produksi akan terus turun. Jika tren ini tidak diintervensi dengan baik, kita khawatir kontribusi ekonomi lada Lampung semakin kecil,” ujarnya.

Ia menegaskan, daerah sentra lada seperti Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Timur, Pesisir Barat, dan Tanggamus harus menjadi fokus revitalisasi dengan teknologi yang lebih baik dan strategi hilirisasi yang jelas.

Teguh mengungkapkan bahwa turunnya target produksi 2025 menjadi sinyal bahwa pemerintah daerah sendiri melihat tantangan besar di lapangan. “Jika dalam 5-10 tahun ke depan tidak ada terobosan dalam peremajaan tanaman, perbaikan budidaya, serta penguatan hilirisasi dan pasar, maka produksi akan semakin menurun,” tandasnya.

Produksi lada nasional saat ini masih didominasi dua provinsi yakni Lampung dan Bangka Belitung (Babel). Informasi yang dihimpun Kupas Tuntas menunjukkan bahwa Indonesia mulai mengimpor lada akibat tren penurunan produksi nasional dalam dua dekade terakhir, ditandai dengan menyusutnya luas areal perkebunan dan rendahnya produktivitas.

Kondisi ini semakin diperparah berbagai faktor struktural seperti penyakit, rendahnya regenerasi petani, dan minimnya daya saing ekspor. Situasi tersebut sangat berbanding terbalik dengan masa ketika Indonesia menjadi produsen lada utama dunia.

Luas areal lada nasional pada 2024 tercatat hanya 152.141 hektare, turun tajam dari 204.364 hektare pada 2003. Produksi pun merosot dari 90.740 ton pada 2003 menjadi 58.897 ton pada 2024. Negara yang memasok impor lada untuk Indonesia antara lain Vietnam, Thailand, Australia, Malaysia, Belanda, Jepang, dan Korea Selatan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Tanaman Perkebunan Tahunan Indonesia 2024, penurunan luas lahan mencapai 25 persen dalam kurun dua dekade. Penurunan ini menjadi sinyal tekanan struktural pada industri lada nasional, baik dari sisi produktivitas, regenerasi petani, maupun daya saing ekspor.

Kementerian Pertanian mencatat seluruh produksi lada Indonesia berasal dari perkebunan rakyat, tanpa kontribusi perusahaan besar. Artinya, rantai produksi masih didominasi petani kecil yang sangat bergantung pada harga pasar dan kondisi cuaca. Ketika harga terpuruk, banyak petani memilih beralih ke komoditas lain seperti sawit atau karet.

Secara spasial, Lampung dan Bangka Belitung menjadi dua provinsi penyumbang produksi terbesar dengan masing-masing 15.791 ton (26,8%) dan 12.009 ton (20,3%). Provinsi lain seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara juga berperan, meski kontribusinya relatif kecil.

Produktivitas lada nasional juga turun. Pada 2023 produktivitas mencapai sekitar 617 kg per hektare, namun pada 2024 turun menjadi 616 kg per hektare. Meski terlihat kecil, tren ini menunjukkan stagnasi produktivitas.

Dari sisi perdagangan, ekspor lada pada 2024 mencapai 55.475 ton senilai US$ 311,28 juta, naik dari tahun sebelumnya. Namun impor justru meningkat tajam dari 450 ton pada 2023 menjadi 1.097 ton pada 2024, didominasi lada hitam sebanyak 944 ton.

Kenaikan impor di tengah menurunnya produksi domestik mengindikasikan kebutuhan industri pengolahan yang tidak mampu dipenuhi pasokan lokal, sekaligus menunjukkan adanya kesenjangan kualitas yang membuat pelaku industri memilih produk impor.

Kategori ekspor terbesar adalah lada putih (HS 09041110) yang menyumbang 51,8 persen dari total ekspor 2024. Negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Vietnam, diikuti China dan India.

Dalam perbandingan jangka panjang, ekspor lada Indonesia telah turun dari lebih dari 60 ribu ton di awal 2010-an menjadi rata-rata di bawah 50 ribu ton per tahun dalam beberapa tahun terakhir. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berpotensi kehilangan posisi strategis dalam rantai pasok lada global.

Data Kementerian Pertanian juga menunjukkan perubahan luas areal dan produksi lada nasional 2015–2024. Pada 2015 luas areal tercatat 167.590 hektare, kemudian meningkat hingga 191.570 hektare pada 2020. Namun sejak 2021 luas lahan terus turun hingga mencapai 152.140 hektare pada 2024.

Sementara itu, produksi lada kering pada 2015 mencapai 81.500 ton, naik menjadi 88.240 ton pada 2018, lalu turun bertahap hingga hanya 58.900 ton pada 2024. (*)

Editor Sigit Pamungkas