Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 17 November 2025

BPN Dinilai Pasif, LBH Minta Penyelesaian Konflik Anak Tuha Diambil Alih Pemerintah Pusat

Oleh Sandika Wijaya

Berita
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung – Konflik agraria di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, kembali memanas setelah upaya mediasi di tingkat daerah dinilai tidak memberikan kepastian hukum bagi warga. YLBHI–LBH Bandar Lampung menilai pemerintah daerah dan BPN Lampung Tengah gagal menjalankan mandat penyelesaian konflik, sehingga penanganannya harus diambil alih oleh Kementerian ATR/BPN RI.

Ketegangan muncul setelah warga dari tiga kampung kembali menggarap lahan yang selama ini mereka klaim sebagai tanah adat dan sumber penghidupan, namun disebut sebagai bagian dari HGU milik PT Bumi Sentosa Abadi (BSA). Aksi ini dilakukan sejak 9 November 2025, sebagai bentuk kekecewaan atas mandeknya penyelesaian sengketa yang berjalan bertahun-tahun.

Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, mengatakan bahwa keputusan warga untuk turun kembali ke lahan bukanlah tindakan spontan, tetapi puncak dari rasa frustrasi akibat absennya negara dan tidak adanya kejelasan dari perusahaan. Menurutnya, berbagai pertemuan dengan pihak Polres Lampung Tengah, BPN Lampung Tengah, dan PT BSA tidak menghasilkan titik terang terkait legalitas klaim perusahaan.

"Alih-alih memperjelas status hukum lahan, PT BSA justru menghindar dari pertanyaan publik. Ketika masyarakat diminta menunjukkan bukti sejarah penguasaan tanahnya, perusahaan dibiarkan tanpa kewajiban membuka dokumen apa pun. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana perusahaan selama bertahun-tahun menikmati kenyamanan dari minimnya kontrol negara," jelas Prabowo saat dikonfirmasi, Senin (17/11/2025).

Prabowo menambahkan bahwa rapat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Lampung Tengah pada 6 November 2025 memperlihatkan kembali lemahnya sikap negara. Ia menyebut BPN Lampung Tengah enggan mendorong evaluasi, verifikasi, atau klarifikasi terhadap PT BSA, padahal kewenangan tersebut berada sepenuhnya di tangan lembaga negara.

Menurutnya, forum yang seharusnya menjadi ruang penyelesaian justru berubah menjadi ruang penundaan. "Karena negara tak kunjung memberi kepastian, warga tiga kampung bergerak memulihkan haknya sendiri. Mereka kembali menggarap lahan yang sudah lama menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan sebelum diklaim oleh PT BSA," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa tindakan warga bukanlah upaya melanggar hukum, tetapi bentuk pembelaan atas ruang hidup yang selama ini tidak mendapatkan perlindungan. Reklaiming lahan dilakukan sebagai respons atas proses penguasaan yang dinilai tidak transparan dan tidak memiliki kejelasan dasar hukum.

LBH Bandar Lampung menyatakan bahwa konflik di Anak Tuha tidak akan selesai selama pemerintah daerah dan BPN Lampung Tengah tetap pasif. Karena itu, mereka mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan dan memastikan penyelesaian yang adil.

LBH meminta tiga langkah utama dilakukan pemerintah pusat, yakni:

1. Kementerian ATR/BPN RI mengambil alih sepenuhnya penanganan konflik Anak Tuha.

2. Melakukan audit menyeluruh terhadap dasar penguasaan lahan yang diklaim sebagai HGU PT BSA.

3. Menjamin pemulihan hak masyarakat dari tiga kampung yang terdampak konflik.

Menurut Prabowo, masyarakat Anak Tuha telah terlalu lama berjuang sendirian tanpa kepastian. Ia menilai negara tidak boleh lagi hadir sebatas retorika, tetapi harus memastikan keadilan substantif dalam penyelesaian sengketa. "YLBHI–LBH Bandar Lampung akan terus mengawal perjuangan masyarakat hingga hak atas tanah mereka benar-benar dipulihkan," pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas