Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 03 November 2025

Pengamat: Pinjaman Dana Harus Transparan dan Berorientasi pada Kepentingan Publik

Oleh ADMIN

Berita
Pengamat Pemerintahan Universitas Lampung (Unila), Sigit Krisbintoro. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Pemerintahan Universitas Lampung (Unila), Sigit Krisbintoro, menilai rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung meminjam dana sebesar Rp1 triliun perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan transparansi.

Ia menegaskan, kebijakan pinjaman daerah di tengah kondisi keuangan yang defisit seharusnya menjadi langkah terakhir dan dilakukan dengan perhitungan matang.

Menurut Sigit, langkah Pemprov Lampung bersama DPRD membuka opsi pinjaman tersebut dapat dipahami sebagai upaya menjaga keberlangsungan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, ia mengingatkan agar keputusan itu tidak diambil secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan kemampuan keuangan daerah dalam mengembalikan pinjaman.

“Dalam kondisi keuangan daerah yang defisit, pinjaman memang bisa menjadi langkah terpaksa yang harus dijalankan demi keberlangsungan pemerintahan. Tapi harus ada pembahasan terbuka antara Pemprov dan DPRD sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan,” kata Sigit, Senin (3/11/2025).

Sigit menekankan, transparansi menjadi hal utama yang wajib dilakukan Pemprov Lampung agar masyarakat memahami tujuan dan manfaat dari pinjaman tersebut.

“Pemerintah daerah harus terbuka kepada publik agar tidak muncul persepsi negatif atau ketidakpercayaan terhadap kebijakan ini,” ujarnya.

Ia juga menegaskan, program yang dibiayai dengan dana pinjaman harus berorientasi jelas pada kepentingan masyarakat dan dapat menumbuhkan pertumbuhan ekonomi daerah. Menurutnya, Pemprov perlu menyusun program yang menghasilkan dampak sosial dan ekonomi nyata, bukan hanya proyek fisik jangka pendek.

“Gunakan dana pinjaman untuk kegiatan produktif, bukan hanya kegiatan seremonial atau proyek yang tidak berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan pinjaman ini benar-benar memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” tegasnya.

Sigit menambahkan, Pemprov Lampung perlu memperhitungkan rasio kemampuan fiskal agar tidak menimbulkan beban keuangan di masa mendatang.

“Harus dihitung secara matang kemampuan daerah untuk membayar kembali pinjaman itu. Jangan sampai justru membebani APBD dan mengganggu program pelayanan publik di kemudian hari,” katanya.

Lebih lanjut, Sigit mendorong Pemprov Lampung untuk melakukan kajian skala prioritas terhadap program-program yang akan dibiayai dengan pinjaman. Menurutnya, program tersebut sebaiknya dipilih berdasarkan potensi keuntungan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

“Perlu ada analisis manfaat yang jelas sebelum menentukan program mana yang akan dibiayai pinjaman. Prinsipnya, pengelolaan keuangan daerah harus berdaya guna dan berhasil guna,” ujarnya.

Sigit menyarankan agar pinjaman daerah sebaiknya diarahkan untuk program yang dapat menghasilkan profit keuangan guna menutup kewajiban pinjaman itu sendiri.

“Jika dikelola dengan baik dan transparan, pinjaman bisa menjadi instrumen untuk mendorong pembangunan. Tapi jika tidak, justru bisa menjadi beban baru bagi keuangan daerah,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Unila, Usep Syaipudin, menilai transparansi dan efektivitas penggunaan dana pinjaman menjadi hal yang sangat penting agar utang tersebut benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Saya tidak memiliki data detail apakah utang kepada PT SMI digunakan untuk membiayai program pembangunan yang produktif. Tapi seharusnya pinjaman ini diarahkan untuk program yang tepat dan menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung,” kata Usep, Minggu (2/11/2025).

Menurutnya, utang pemerintah daerah kepada PT SMI dapat membawa dua kemungkinan besar. Di satu sisi, pinjaman tersebut bisa menjadi motor penggerak pembangunan daerah apabila dialokasikan pada sektor-sektor strategis yang memberi nilai tambah, seperti perbaikan infrastruktur jalan, rumah sakit, jembatan, dan fasilitas publik lainnya. Namun di sisi lain, utang juga berpotensi menjadi beban fiskal jangka panjang apabila tidak dikelola dengan cermat dan transparan.

“Yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah dua hal utama. Pertama, transparansi penggunaan dana. Masyarakat perlu tahu ke mana pinjaman itu dialokasikan agar tidak muncul kecurigaan atau dugaan penyalahgunaan. Kedua, prioritas pembangunan. Dana pinjaman sebaiknya digunakan untuk proyek yang benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup warga,” tegasnya.

Usep juga mengingatkan bahwa pengawasan terhadap pengelolaan utang daerah harus diperkuat, baik dari DPRD, inspektorat daerah, maupun masyarakat sipil. Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, utang tersebut dikhawatirkan hanya menjadi solusi instan untuk menutup defisit anggaran tanpa menghasilkan manfaat jangka panjang.

“Kalau pemerintah daerah tidak hati-hati, beban pembayaran bunga dan pokok utang justru bisa menggerus anggaran belanja publik di tahun-tahun berikutnya. Akibatnya, ruang fiskal daerah akan semakin sempit dan pelayanan publik bisa terganggu,” ujar Usep.

Ia menambahkan, pola pinjaman ke PT SMI sebenarnya merupakan hal yang wajar dan bisa menjadi alternatif pembiayaan pembangunan daerah yang sehat, asalkan dikelola dengan prinsip akuntabilitas dan perencanaan yang matang. Jika digunakan dengan baik untuk pembangunan infrastruktur dan program yang produktif, maka akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah.

“Namun, jika tidak dikelola dengan baik, maka utang tersebut bisa menjadi beban bagi daerah di masa depan,” ungkapnya.
(*)

Editor Sigit Pamungkas