Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai lemahnya perencanaan, pengawasan, serta kuatnya intervensi politik menjadi penyebab utama banyak proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) rawan penyimpangan.
Menurut Benny, proyek SPAM memiliki karakteristik dengan nilai anggaran besar dan teknis pekerjaan yang kompleks, sehingga membuka peluang terjadinya markup dan permainan subkontrak.
“Dokumen perencanaan sering kali lemah, studi kelayakan tidak matang, dan penanggung jawab proyek bisa berganti karena faktor politik. Situasi ini menciptakan ruang bagi keputusan yang oportunistik,” ujar Benny, Rabu (29/10/2025).
Ia menambahkan, sejumlah kasus SPAM di Lampung memperlihatkan pola yang sama. Ada permainan antara pejabat pengguna anggaran dan rekanan pelaksana, termasuk manipulasi dokumen tender, pekerjaan fiktif, hingga proyek mangkrak.
“Modusnya berulang markup, konspirasi antara pejabat dan kontraktor, serta perubahan spesifikasi tanpa dasar yang jelas,” jelasnya.
Benny juga menyoroti efektivitas sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang seharusnya mencegah praktik korupsi. Namun, menurut dia, sistem tersebut belum sepenuhnya menutup celah permainan antar pihak.
“LPSE memang transparan di permukaan, tapi kalau dokumen lelang dan evaluasi kualifikasi masih bisa diatur, permainan tetap berjalan,” katanya.
Terkait penegakan hukum, Benny menilai aparat sudah mulai tegas dengan adanya sejumlah penyidikan dan vonis kasus SPAM di daerah. Namun, efek jeranya belum terasa karena proses hukum berjalan lambat dan pemulihan kerugian negara belum optimal.
“Kalau tidak ada transparansi dan pemulihan aset, publik akan menilai penegakan hukumnya setengah hati,” tegasnya.
Ia juga menyinggung lemahnya fungsi pengawasan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat daerah.
“Kerangka auditnya sebenarnya sudah ada, tapi kapasitas teknis dan independensi lembaga pengawas perlu diperkuat. Banyak kasus baru ditangani setelah muncul laporan eksternal,” ujarnya.
Benny menyebut tanggung jawab hukum dalam proyek SPAM tidak hanya berada di tangan kontraktor, tetapi juga pejabat pengguna anggaran dan kepala daerah yang memberikan arahan atau persetujuan.
“Jika terbukti ada kolusi atau penyalahgunaan kewenangan, semua pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Untuk mencegah agar proyek SPAM tidak lagi menjadi bancakan, Benny merekomendasikan beberapa langkah konkret, seperti audit forensik sebelum pencairan tahap berikutnya, penerapan portal transparansi proyek secara publik, dan sanksi tegas bagi kontraktor nakal.
“Pemerintah daerah juga perlu memperkuat peran masyarakat dan DPRD dalam pengawasan. Transparansi harus menjadi norma, bukan sekadar formalitas administratif,” ujarnya.
Benny menegaskan, proyek SPAM sejatinya bukan sekadar proyek fisik, melainkan pemenuhan hak dasar warga atas air bersih.
“Kalau proyek ini dikorupsi, yang dirugikan bukan hanya negara, tapi juga rakyat yang kehilangan akses terhadap sumber kehidupan,” pungkasnya. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Jumat 31 Oktober 2025 dengan judul "Pengamat: Pengawasan Lemah dan Intervensi Politik”

 berdikari
berdikari  
                 
                             
                             
                             
                            









