Berdikari.co, Bandar Lampung - Perajin tahu dan tempe di Provinsi Lampung masih lebih memilih membeli kedelai impor dibandingkan kedelai lokal. Alasannya, kualitas kedelai impor dinilai lebih baik, sementara harga dan ketersediaan stoknya juga lebih stabil.
Ferdi, seorang perajin tahu tempe di Kelurahan Jagabaya III, Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung, menuturkan bahwa kualitas kedelai impor lebih bagus dibandingkan kedelai lokal. Ia mengatakan, harga kedelai saat ini berkisar Rp9.400 per kilogram. Hingga kini, pasokan kedelai masih lancar dan stabil.
“Satu bulan rata-rata saya membeli empat ton kedelai untuk bahan membuat tahu dan tempe. Kalau pakai kedelai lokal harganya memang lebih murah, tapi kami tetap pilih kedelai impor karena hasilnya lebih bagus,” kata Ferdi, Rabu (29/10/2025).
Ia menuturkan, kenaikan harga kedelai bisa berdampak langsung pada produksi tahu dan tempe. Jika harga bahan baku naik signifikan, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan mengurangi ukuran tahu dan tempe.
“Namun langkah itu tidak mudah karena bisa memicu protes dari konsumen. Konsumen biasanya langsung tanya ke pedagang kenapa ukurannya mengecil,” imbuhnya.
Imah, perajin tahu di Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung, mengungkapkan harga kedelai saat ini mencapai Rp9.500 per kilogram. Harga ini turun cukup jauh dibandingkan tahun 2024 lalu yang sempat mencapai Rp12 ribu per kilogram.
“Kalau saya memang biasa menggunakan kedelai impor untuk bahan baku membuat tahu. Sudah tahunan saya tidak pakai kedelai lokal,” katanya.
Imah menambahkan, jika harga kedelai naik maka otomatis akan berdampak pada penjualan tahu. Ia mengakui, saat ini daya beli masyarakat mengalami penurunan.
“Pasokan aman, tapi pasar sepi. Jadi kalau stok kedelai banyak tapi pembeli berkurang, ya percuma juga,” ungkapnya.
Sementara itu, Umi, seorang distributor kedelai di Lampung Selatan, mengatakan harga kedelai super saat ini berkisar Rp9.500 per kilogram, turun dari sebelumnya Rp10 ribu. Umi mengaku mendapat pasokan kedelai dari pengepul dan menjualnya kembali ke perajin tahu dan tempe.
“Sekarang ini pembelian berkurang. Dulu ambil sembilan ton habis dalam 25 hari, sekarang enam ton bisa sebulan,” kata Umi.
Ia menambahkan, penurunan pembelian kedelai bukan hanya karena produksi berkurang, tetapi juga akibat maraknya pedagang keliling yang menjual kedelai dengan kualitas tidak terjamin. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 30 Oktober 2025 dengan judul "Perajin Tahu Tempe Pilih Beli Kedelai Impor”

berdikari









