Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 04 September 2025

Benny Karya: Larangan Flexing Perlu Diperkuat Aturan Turunan

Oleh Redaksi

Berita
Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist.

Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai instruksi Mendagri Tito Karnavian yang melarang kepala daerah dan pejabat publik melakukan pamer kekayaan (flexing) merupakan langkah tepat untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Menurut Benny, di tengah situasi sosial dan ekonomi yang sulit, perilaku pamer harta oleh pejabat publik berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan menggerus legitimasi pemerintah.

"Larangan ini patut diapresiasi karena menyangkut moralitas pejabat publik. Flexing di ruang publik bisa memperlebar jarak sosial dengan rakyat dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” ujar Benny, Rabu (3/9/2025).

Benny menjelaskan, secara normatif instruksi Mendagri memang tidak memiliki kekuatan mengikat seperti undang-undang. Namun, larangan tersebut bisa ditopang oleh sejumlah regulasi yang sudah ada.

Misalnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur asas kepatutan dan kepantasan, serta PP No. 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik Aparatur Sipil Negara.

Selain itu, pejabat publik juga wajib menyampaikan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) kepada KPK.

"Kalau hanya imbauan moral tentu efeknya terbatas. Dibutuhkan aturan turunan yang jelas, misalnya Permendagri atau revisi kode etik kepala daerah, sehingga pelanggar bisa dikenai sanksi administratif maupun etik,” tegasnya.

Benny melanjutkan, pengawasan dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni internal oleh inspektorat, eksternal melalui verifikasi LHKPN oleh KPK, serta partisipatif melalui kontrol masyarakat dan media.

Ia menambahkan, sanksi yang bisa dikenakan bagi pejabat yang tetap melakukan flexing antara lain teguran, penundaan hak keuangan, hingga pemberhentian sementara.

"Jika harta yang dipamerkan terindikasi tidak wajar, maka bisa masuk ke ranah pidana, termasuk dugaan gratifikasi dan korupsi,” paparnya.

Ia menerangkan, larangan flexing merupakan langkah maju untuk menjaga rasa keadilan masyarakat.

"Flexing pejabat di tengah kesulitan rakyat jelas melukai moral publik. Karena itu instruksi ini jangan dilihat sekadar seruan moral, tapi bagian dari upaya reformasi birokrasi agar pejabat lebih sederhana dan berorientasi pada kepentingan rakyat,” pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 04 September 2025 dengan judul “Benny Karya: Larangan Flexing Perlu Diperkuat Aturan Turunan”

Editor Didik Tri Putra Jaya