Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 28 Agustus 2025

Terombang-ambing Demi Berobat, Warga Tanggamus Pertanyakan Keberadaan Ambulans Laut

Oleh Sayuti

Berita
Detik-detik penyelamatan kapal yang membawa pasien di perairan Waynipah. Foto: Ist

Berdikari.co, Tanggamus – Laut bukan hanya bentang air asin bagi warga Pematangsawa, Tanggamus. Ia adalah jalan utama menuju harapan, jalur satu-satunya menuju fasilitas kesehatan di daratan. Tapi sore itu, Rabu (27/8/2025), lautan berubah wajah: dari sahabat menjadi ancaman.

Sebuah perahu kayu kecil jenis ketinting yang membawa tujuh orang penumpang—salah satunya pasien rujukan, Lankari (68)—terombang-ambing di perairan Waynipah setelah mesin perahu mendadak mati. Kipas mesin patah, perahu kehilangan arah di tengah gelombang dan angin yang mulai kencang.

Rombongan tersebut berangkat dari Pekon Karang Brak, salah satu dari delapan desa di ujung selatan Kecamatan Pematangsawa yang hanya bisa diakses lewat laut. Dalam keadaan darurat, mereka sedang menuju RS Panti Secanti Gisting, sekitar dua jam perjalanan laut.

Lankari, yang mengidap sesak napas akut, dalam kondisi kritis. Ia ditemani tenaga kesehatan muda, Mila Fatmasari, yang terus berusaha menenangkannya di tengah kecemasan.

“Perahu tiba-tiba macet, kami terombang-ambing hampir satu jam di laut. Ombaknya cukup besar dan langit sudah mulai gelap,” kenang Mila, yang masih terdengar emosional saat menceritakan kejadian itu.

Ketika harapan hampir sirna, datang pertolongan dari arah tak terduga. Sebuah perahu viber milik Polsek Pematangsawa melintas. Kapolsek Ipda Ahmad Rais bersama Kanit Intelkam dan Kanit Bimas, yang baru saja pulang dari kegiatan di Pekon Tampang Muda, melihat perahu kecil itu dalam kondisi mengkhawatirkan.

“Melihat situasinya darurat, kami langsung ambil tindakan cepat,” ujar Ipda Rais.

Dengan sigap, perahu milik kepolisian itu menambatkan tali ke perahu yang rusak, lalu menariknya perlahan menuju pantai Waynipah di tengah hempasan ombak.

Sesampainya di darat, Lankari segera dievakuasi ke mobil yang sudah menunggu dan langsung dibawa ke rumah sakit. Bidan Mila mengaku masih terguncang.

“Biasanya laut itu indah, tapi sore itu terasa seperti jurang maut. Untung ada bantuan tepat waktu,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Ailawati, Kepala UPT Puskesmas Martanda, menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan aparat. “Kami sangat mengapresiasi kesigapan Polsek Pematangsawa yang telah menyelamatkan pasien dan tim medis kami. Tanpa mereka, mungkin keadaannya akan berbeda,” ucapnya.

Namun di balik kisah heroik ini, muncul pertanyaan besar: Di mana ambulans laut yang dijanjikan pemerintah untuk wilayah 3T seperti Pematangsawa?

Selama ini, masyarakat hanya mengandalkan perahu kecil untuk rujukan medis. Laut yang menjadi jalur satu-satunya itu bisa berubah menjadi jalur maut, seperti yang nyaris terjadi pada Lankari.

Padahal, ambulans laut bukanlah fasilitas mewah bagi masyarakat pulau. Itu adalah kebutuhan mendasar. Janji pemerintah menghadirkan kapal ambulans untuk daerah terpencil tak seharusnya berhenti pada seremoni peresmian. Fasilitas itu harus hadir nyata saat paling dibutuhkan.

Bagi masyarakat di pekon-pekon pesisir seperti Karang Brak, Teluk Brak, Kaurgading, Tirom, Way Asahan, Martanda, Tampang Tua, dan Tampang Muda, laut adalah jalan raya. Ia menghubungkan desa, mendukung ekonomi, dan menjadi satu-satunya jalur darurat menuju layanan kesehatan. Tapi setiap perjalanan adalah pertaruhan.

Sore itu, nyawa Lankari hampir tergantung di antara ombak dan angin. Beruntung, solidaritas aparat hadir sebagai jangkar keselamatan. Namun tugas negara belum selesai: memastikan bahwa setiap warga—di mana pun tinggalnya—memiliki akses yang layak terhadap layanan kesehatan, tanpa harus menantang maut di lautan. (*)


Editor Sigit Pamungkas