Berdikari.co, Bandar Lampung - Inspektorat Provinsi Lampung akan memanggil
dr. Billy Rosan guna menggali lebih lanjut persoalan dugaan pungli yang
dilakukannya terhadap salah seorang pasien saat berobat di RSUD Abdul Moeloek.
Inspektur Pembantu Wilayah V Inspektorat Provinsi Lampung, Sahat Paulus
Naipospos, mengatakan data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan tersebut
nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi.
"Kita sedang menggali data sebenarnya seperti apa permasalahan ini.
Sehingga nanti itu yang akan menjadi dasar untuk menjatuhkan hukuman disiplin.
Kita berupaya sesegera mungkin ini akan kita periksa," kata Sahat, Minggu
(24/8/2025).
Namun, ia mengaku belum bisa memastikan sanksi apa yang akan diberikan
kepada dr. Billy Rosan. Pihaknya juga tengah menunggu data yang akan
disampaikan oleh RSUD Abdul Moeloek.
"Jadi sekarang ini belum bisa kita sebutkan apa hukumannya. Kita
lakukan pemeriksaan, kalau hasil pemeriksaan terbukti tentu ada sanksi. Kalau
dugaan pungli itu terbukti nanti kita lihat lagi dampaknya kemana,"
tuturnya.
Ia menjelaskan, sanksi yang diberikan kepada ASN akan mengacu pada
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
"Kalau ASN ketentuannya di PP 94, kalau pelanggaran kita jatuhkan
sanksi mulai dari yang paling ringan sampai yang berat," kata dia.
Ia mengatakan, kasus pungli merupakan pelanggaran terhadap jabatan yang
diemban dan hal tersebut merupakan pelanggaran.
"Pungli sebetulnya pelanggaran terhadap jabatan yang diemban, jadi
kalau dia menerima uang tidak sesuai dengan ketentuan itu pelanggaran,"
paparnya.
Sehingga, lanjut dia, kemungkinan sanksi yang akan diberikan seperti
penundaan kenaikan gaji secara berkala hingga penurunan pangkat.
"Ada kemungkinan penundaan kenaikan gaji secara berkala, penurunan
pangkat. Tapi nanti kita lihat fakta sebenarnya," ungkapnya.
Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Indonesia Sejahtera (LBH KIS),
Febrian Willy Atmaja, mengatakan jika benar keluarga pasien Alesha Erina Putri
(2), yang meninggal dunia usai menjalani operasi, telah menyerahkan uang Rp8
juta ke rekening pribadi dokter yang menanganinya, maka hal itu bisa masuk
dalam tindakan penyalahgunaan jabatan.
“Jika benar, itu jelas penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang
bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Permenkes Nomor 3 Tahun 2025 (terbaru).
Sehingga kami tidak membenarkan tindakan oknum seperti itu,” kata Febrian,
Jumat (22/8/2025).
Febrian menegaskan, LBH KIS siap menjadi mediator antara keluarga pasien,
pihak rumah sakit, dan dokter terkait. Menurutnya, langkah itu penting untuk
mencari titik terang sekaligus solusi.
Ia juga menekankan, pelanggaran profesi oleh tenaga kesehatan bisa dikenai
sanksi sesuai aturan Majelis Disiplin Profesi (MDP), mulai dari teguran,
pencabutan Surat Izin Praktik (SIP), hingga Surat Tanda Registrasi (STR).
“Selain mediasi, kami akan memberikan pandangan hukum dengan merujuk
Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya
Limantara, menilai jika perbuatan permintaan uang yang dilakukan Dokter Billy
Rosan terbukti benar, maka bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana
penipuan, pungutan liar (pungli), bahkan korupsi.
Benny menegaskan, secara hukum perbuatan tersebut memiliki konsekuensi
serius.
“Jika dokter meminta uang dengan alasan pembelian alat medis padahal
seluruh biaya sudah ditanggung BPJS, maka dapat masuk kategori penipuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP,” kata Benny.
Selain itu, lanjutnya, pungutan di luar ketentuan resmi termasuk
gratifikasi ilegal atau pungutan liar sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor.
“Apalagi bila dokter berstatus ASN di RSUD Abdul Moeloek, maka penerimaan
uang pribadi itu bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
berdasarkan Pasal 12 huruf e UU Tipikor,” jelasnya.
Benny menambahkan, keluarga pasien memiliki hak menempuh jalur hukum, mulai
dari melapor ke kepolisian, kejaksaan, atau Saber Pungli, hingga mengadukan ke
Ombudsman maupun BPJS Kesehatan.
“Bahkan jalur gugatan perdata terbuka untuk menuntut pengembalian uang
serta ganti rugi immateriil,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti tanggung jawab manajemen RSUD Abdul Moeloek yang harus
melakukan investigasi internal.
“Rumah sakit bisa ikut dimintai pertanggungjawaban secara administratif
maupun perdata, karena tindakan dokter dilakukan saat menjalankan profesinya di
bawah institusi RSUD,” ujarnya.
Benny menekankan agar kasus ini menjadi momentum pembenahan layanan
kesehatan di Lampung.
“Sistem transparansi biaya harus diperkuat dan terintegrasi dengan BPJS, agar tidak ada lagi pungutan di luar ketentuan. Jika tidak, kasus serupa akan terus terulang dan merugikan masyarakat,” pungkasnya. (*)