Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 25 Agustus 2025

Dokter Billy Rosan Terancam Sanksi Penundaan Kenaikan Gaji Hingga Penurunan Pangkat

Oleh ADMIN

Berita
Inspektur Pembantu Wilayah V Inspektorat Provinsi Lampung, Sahat Paulus Naipospos. Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Bandar Lampung - Inspektorat Provinsi Lampung akan memanggil dr. Billy Rosan guna menggali lebih lanjut persoalan dugaan pungli yang dilakukannya terhadap salah seorang pasien saat berobat di RSUD Abdul Moeloek.

Inspektur Pembantu Wilayah V Inspektorat Provinsi Lampung, Sahat Paulus Naipospos, mengatakan data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi.

"Kita sedang menggali data sebenarnya seperti apa permasalahan ini. Sehingga nanti itu yang akan menjadi dasar untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Kita berupaya sesegera mungkin ini akan kita periksa," kata Sahat, Minggu (24/8/2025).

Namun, ia mengaku belum bisa memastikan sanksi apa yang akan diberikan kepada dr. Billy Rosan. Pihaknya juga tengah menunggu data yang akan disampaikan oleh RSUD Abdul Moeloek.

"Jadi sekarang ini belum bisa kita sebutkan apa hukumannya. Kita lakukan pemeriksaan, kalau hasil pemeriksaan terbukti tentu ada sanksi. Kalau dugaan pungli itu terbukti nanti kita lihat lagi dampaknya kemana," tuturnya.

Ia menjelaskan, sanksi yang diberikan kepada ASN akan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Kalau ASN ketentuannya di PP 94, kalau pelanggaran kita jatuhkan sanksi mulai dari yang paling ringan sampai yang berat," kata dia.

Ia mengatakan, kasus pungli merupakan pelanggaran terhadap jabatan yang diemban dan hal tersebut merupakan pelanggaran.

"Pungli sebetulnya pelanggaran terhadap jabatan yang diemban, jadi kalau dia menerima uang tidak sesuai dengan ketentuan itu pelanggaran," paparnya.

Sehingga, lanjut dia, kemungkinan sanksi yang akan diberikan seperti penundaan kenaikan gaji secara berkala hingga penurunan pangkat.

"Ada kemungkinan penundaan kenaikan gaji secara berkala, penurunan pangkat. Tapi nanti kita lihat fakta sebenarnya," ungkapnya.

Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Indonesia Sejahtera (LBH KIS), Febrian Willy Atmaja, mengatakan jika benar keluarga pasien Alesha Erina Putri (2), yang meninggal dunia usai menjalani operasi, telah menyerahkan uang Rp8 juta ke rekening pribadi dokter yang menanganinya, maka hal itu bisa masuk dalam tindakan penyalahgunaan jabatan.

“Jika benar, itu jelas penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Permenkes Nomor 3 Tahun 2025 (terbaru). Sehingga kami tidak membenarkan tindakan oknum seperti itu,” kata Febrian, Jumat (22/8/2025).

Febrian menegaskan, LBH KIS siap menjadi mediator antara keluarga pasien, pihak rumah sakit, dan dokter terkait. Menurutnya, langkah itu penting untuk mencari titik terang sekaligus solusi.

Ia juga menekankan, pelanggaran profesi oleh tenaga kesehatan bisa dikenai sanksi sesuai aturan Majelis Disiplin Profesi (MDP), mulai dari teguran, pencabutan Surat Izin Praktik (SIP), hingga Surat Tanda Registrasi (STR).

“Selain mediasi, kami akan memberikan pandangan hukum dengan merujuk Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai jika perbuatan permintaan uang yang dilakukan Dokter Billy Rosan terbukti benar, maka bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana penipuan, pungutan liar (pungli), bahkan korupsi.

Benny menegaskan, secara hukum perbuatan tersebut memiliki konsekuensi serius.

“Jika dokter meminta uang dengan alasan pembelian alat medis padahal seluruh biaya sudah ditanggung BPJS, maka dapat masuk kategori penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP,” kata Benny.

Selain itu, lanjutnya, pungutan di luar ketentuan resmi termasuk gratifikasi ilegal atau pungutan liar sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor.

“Apalagi bila dokter berstatus ASN di RSUD Abdul Moeloek, maka penerimaan uang pribadi itu bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf e UU Tipikor,” jelasnya.

Benny menambahkan, keluarga pasien memiliki hak menempuh jalur hukum, mulai dari melapor ke kepolisian, kejaksaan, atau Saber Pungli, hingga mengadukan ke Ombudsman maupun BPJS Kesehatan.

“Bahkan jalur gugatan perdata terbuka untuk menuntut pengembalian uang serta ganti rugi immateriil,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti tanggung jawab manajemen RSUD Abdul Moeloek yang harus melakukan investigasi internal.

“Rumah sakit bisa ikut dimintai pertanggungjawaban secara administratif maupun perdata, karena tindakan dokter dilakukan saat menjalankan profesinya di bawah institusi RSUD,” ujarnya.

Benny menekankan agar kasus ini menjadi momentum pembenahan layanan kesehatan di Lampung.

“Sistem transparansi biaya harus diperkuat dan terintegrasi dengan BPJS, agar tidak ada lagi pungutan di luar ketentuan. Jika tidak, kasus serupa akan terus terulang dan merugikan masyarakat,” pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas