Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Jumat, 22 Agustus 2025

14 Kasus Pernikahan Dini Terjadi di Lampung Barat

Oleh Echa wahyudi

Berita
Plt Kepala DPPKB dan PPA Lampung Barat, Budi Kurniawan, saat dikonfirmasi, Jumat (22/8/2025). Foto: Echa

Berdikari.co, Lampung Barat - Angka pernikahan dini di Kabupaten Lampung Barat kembali menjadi sorotan. Sepanjang Januari–Agustus 2025, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKB dan PPA) mencatat sudah ada 14 pengajuan asesmen dispensasi nikah untuk diajukan ke pengadilan.

Jumlah tersebut berpotensi melampaui angka pada tahun sebelumnya. Pada 2024, total kasus pengajuan dispensasi nikah di Lampung Barat hanya mencapai 14 kasus, namun angka itu tercatat selama satu tahun penuh. Artinya, dalam kurun waktu setengah tahun lebih sedikit, jumlahnya sudah sama dengan periode tahun lalu.

Plt Kepala DPPKB dan PPA Lampung Barat, Budi Kurniawan mengatakan, fenomena ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Menurutnya, terdapat beberapa faktor penyebab meningkatnya kasus pernikahan dini.

"Beberapa penyebab yang umum antara lain kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, serta tradisi dan budaya yang masih menganggap pernikahan dini sebagai hal wajar. Tekanan sosial dari lingkungan maupun keluarga juga sering memaksa anak menikah lebih cepat," kata Budi, seperti dikutip dari kupastuntas.co, Jumat (22/8/2025).

Selain itu, kurangnya kesadaran orang tua mengenai hak-hak anak, minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi, hingga kondisi geografis yang terpencil turut menjadi pemicu. Anak-anak yang tinggal di daerah dengan akses terbatas terhadap pendidikan dan informasi lebih rentan menikah di usia muda.

Pernikahan dini membawa banyak dampak negatif, di antaranya anak terpaksa putus sekolah, terbatasnya kesempatan memperoleh pekerjaan, hingga meningkatnya risiko kesehatan reproduksi. Anak yang menikah terlalu muda juga kerap kehilangan kebebasan dan hak-hak dasarnya.

"Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya pernikahan dini. Pendidikan, pengawasan orang tua, serta penyediaan akses informasi dan layanan kesehatan menjadi langkah penting untuk melindungi anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia mereka," kata dia.

Ia menegaskan pernikahan dini membawa risiko yang besar, tidak hanya bagi pasangan muda, tetapi juga terhadap kesehatan reproduksi dan keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan.

"Inilah yang menjadi perhatian kita, bagaimana upaya menekan angka pernikahan dini supaya generasi kita bisa tumbuh sehat dan berkualitas,” ujarnya.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia menikah ditetapkan 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Aturan ini diberlakukan untuk memberikan perlindungan hukum sekaligus memastikan kesiapan mental, fisik, dan ekonomi pasangan yang akan berumah tangga.

Dengan adanya aturan tersebut, pasangan yang masih di bawah umur dan ingin menikah wajib mengajukan dispensasi ke pengadilan agama. Dispensasi hanya dapat diberikan apabila terdapat alasan yang mendesak serta bukti-bukti kuat bahwa pernikahan tersebut memang harus dilaksanakan.

"Di sinilah peran kami melakukan asesmen terlebih dahulu. Kami menilai dari sisi psikologis, kesehatan, maupun sosial untuk kemudian hasilnya kami serahkan sebagai pertimbangan pihak pengadilan agama dalam memutuskan permohonan dispensasi nikah,” jelas Budi.

Menurutnya, tingginya angka pengajuan dispensasi nikah menunjukkan masih banyak anak-anak yang belum terlindungi dari risiko perkawinan dini.

Karena itu, ia menekankan pentingnya sosialisasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, terutama di wilayah pedesaan.

"Upaya preventif menjadi kunci. Kami akan meningkatkan edukasi ke sekolah-sekolah, kelompok remaja, serta masyarakat luas mengenai bahaya menikah di usia dini dan pentingnya melanjutkan pendidikan sebagai bekal masa depan,” tegasnya.

Selain itu, Budi juga mendorong orang tua untuk lebih aktif memberikan pengawasan dan arahan kepada anak-anak mereka.

Menurutnya, keluarga merupakan benteng utama dalam mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur.

"Banyak kasus terjadi karena lemahnya pengawasan dari orang tua. Padahal, orang tua sangat berperan penting untuk mendampingi anak-anak agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan yang akan berdampak panjang pada hidup mereka,” ujarnya.

Pemerintah Kabupaten Lampung Barat berkomitmen untuk memperkuat kerja sama lintas sektor, baik dengan sekolah, lembaga masyarakat, maupun aparat desa, guna menekan angka pernikahan dini. Diharapkan kasus-kasus serupa bisa ditekan sehingga tidak terus meningkat dari tahun ke tahun.

"Kita ingin generasi muda Lampung Barat benar-benar siap, baik dari sisi mental, fisik, maupun ekonomi, sebelum mereka melangkah ke jenjang pernikahan. Ini demi kebaikan mereka sendiri, juga demi mencetak generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, dan berkualitas,” tutup Budi.

Dengan kondisi saat ini, DPPKB dan PPA Lampung Barat berharap kesadaran masyarakat dapat terus meningkat sehingga pernikahan dini tidak lagi menjadi jalan keluar dari persoalan sosial.

Sebaliknya, pendidikan dan pembinaan remaja harus diprioritaskan sebagai investasi jangka panjang bagi masa depan daerah. (*)

Editor Didik Tri Putra Jaya