Berdikari.co, Bandar Lampung - Sekretaris Program Studi Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Dr Benny Karya Limantara, mengatakan keinginan Komisi II DPR RI bersama Kementerian ATR/BPN untuk melakukan pengukuran ulang terhadap Hak Guna Usaha (HGU) PT Sugar Group Companies (SGC) sah secara hukum.
Benny menjelaskan bahwa pengukuran ulang memiliki dasar hukum yang kuat, di antaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 16 ayat (1) huruf c yang menyebutkan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Selain itu, pengaturan teknis juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai; Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik; serta Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XIII/2015 menguatkan bahwa HGU bisa dikaji ulang jika ada konflik agraria atau potensi pelanggaran hak masyarakat.
“Kementerian ATR/BPN memiliki otoritas administratif untuk memberi, mencabut, memperpanjang, dan mengukur ulang HGU. Termasuk juga mengklarifikasi batas-batas tanah jika ada tumpang tindih, konflik, atau permintaan resmi dari pemerintah daerah, masyarakat, atau lembaga lainnya,” kata Benny, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, legalitas pengukuran ulang diakui bila terdapat indikasi tumpang tindih lahan dengan tanah masyarakat atau adat, kesalahan pengukuran awal, atau adanya sengketa agraria. Meski DPR tidak memiliki kewenangan teknis dalam urusan pertanahan, Benny mengatakan lembaga legislatif tetap memiliki hak untuk mengawasi kebijakan agraria di wilayahnya.
“DPR juga berwenang menyuarakan aspirasi masyarakat dan mendorong Kementerian ATR/BPN untuk melakukan tindakan administratif seperti ukur ulang, investigasi, atau audit atas HGU yang dianggap bermasalah,” katanya.
Benny mengatakan, dukungan DPR memang tidak bersifat mengikat secara hukum, tetapi bernilai politis dan aspiratif, serta memperkuat legitimasi moral atas tindakan administratif yang dilakukan oleh BPN.
Terkait dampak hukum dan sosial, Benny menyebut bahwa apabila dari hasil ukur ulang ditemukan kelebihan luasan, penggunaan lahan di luar izin, atau pelanggaran hukum pertanahan, maka PT SGC bisa dikenai sanksi administratif, penertiban, atau bahkan pencabutan sebagian HGU.
“Masyarakat atau kelompok adat yang terdampak juga dapat mengajukan restitusi hak atau pemulihan akses tanah. Selain itu, pengukuran ulang membuka ruang penyelesaian konflik agraria secara objektif dan transparan,” bebernya.
Benny juga menegaskan kesepakatan antara DPR dan Kementerian ATR/BPN untuk mengukur ulang HGU PT SGC adalah sah menurut hukum, sepanjang dilakukan sesuai prosedur hukum pertanahan, dilandasi aspirasi masyarakat atau temuan administratif, dan bertujuan menyelesaikan konflik atau ketidaksesuaian hukum.
“Langkah ini merupakan bentuk pengawasan kolektif antara pusat dan daerah dalam pengelolaan agraria, serta penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum atas tanah,” paparnya.
Sementara Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, menilai langkah DPR RI bersama Kementerian ATR/BPN untuk mengukur ulang lahan HGU PT SGC di Lampung merupakan angin segar bagi penyelesaian konflik agraria.
Menurutnya, persoalan konflik agraria di Lampung bukan hanya terjadi pada PT SGC saja, tetapi juga terjadi di banyak perusahaan pemegang HGU lain.
“Langkah pengukuran ulang ini harus dimaknai sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh di Provinsi Lampung. Konflik seperti ini tidak hanya terjadi di PT SGC, tetapi juga ada di PT AKG di Way Kanan, PT BSA di Lampung Tengah, PT BNIL di Tulang Bawang, dan beberapa perusahaan lain,” kata Sumaindra, Kamis (10/7/2025).
Ia mengatakan, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN harus segera melakukan inventarisasi menyeluruh terhadap seluruh perusahaan pemegang HGU yang terlibat konflik dengan masyarakat. Tujuannya, agar penyelesaian konflik bisa berjalan utuh, sistematis, dan tidak setengah-setengah.
Sumaindra menegaskan, penyelesaian konflik agraria penting dilakukan karena konflik HGU dengan masyarakat selama ini telah menimbulkan berbagai persoalan sosial, di antaranya meningkatnya kemiskinan, konflik horizontal, hingga kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.
“Dalam setiap konflik di sekitar wilayah perkebunan, yang selalu paling dirugikan adalah masyarakat. Mereka yang terdorong ke jurang kemiskinan, bahkan tidak jarang dikriminalisasi,” ujarnya.
Ia berharap, upaya pengukuran ulang lahan PT SGC yang dilakukan Komisi II DPR RI dan Kementerian ATR/BPN tidak berhenti pada satu kasus saja, tetapi benar-benar menjadi momentum untuk mendorong penyelesaian konflik perkebunan secara luas di Lampung.
“Penyelesaian konflik ini harus memiliki perspektif keberpihakan kepada masyarakat yang selama ini menjadi korban. Jangan sampai hanya jadi formalitas, tetapi substansi penyelesaian konfliknya tidak berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Sumaindra juga meminta pemerintah menunjukkan komitmen kuat dalam menyelesaikan masalah-masalah agraria di Lampung, dengan memastikan keadilan bagi masyarakat di sekitar wilayah HGU.
“Semoga momentum ini benar-benar menjadi awal dari komitmen serius pemerintah menyelesaikan berbagai konflik agraria di Lampung secara menyeluruh, adil, dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Jumat 11 Juli 2025 dengan judul "Benny Karya: Ukur Ulang HGU SGC Sah Secara Hukum”