Berdikari.co, Bandar Lampung - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung bersama Panitia Khusus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung meminta pemerintah pusat segera menetapkan harga dan standar mutu singkong yang berlaku secara nasional.
Ketua Panitia Khusus Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas, mengatakan persoalan harga dan rafaksi singkong tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah karena menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Mikdar mengungkapkan, jika kedua isu utama tersebut (harga dan rafaksi) tidak segera diputuskan oleh pemerintah pusat, dikhawatirkan konflik harga singkong yang terjadi antara petani dan pabrik atau perusahaan tapioka tidak akan terselesaikan.
"Petani minta harga singkong Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 15 persen dan kadar aci 20. Sementara pabrik menuntut kadar aci 24 dengan potongan 15 persen. Jika tidak ada aturan dari pusat, maka tidak akan ada titik temu," tegas Mikdar, pada Rabu (30/4/2025).
Mikdar mengungkapkan, sejak awal April 2025, harga singkong di Lampung anjlok menjadi Rp1.100 per kilogram dengan potongan hingga 30 persen. Kondisi tersebut membuat petani hanya menerima sekitar Rp400-Rp500 per kilogram, sehingga tidak menutup biaya produksi.
"Apabila harga tidak diperlakukan secara rasional dipastikan pabrik tidak mau menjalankannya. Karena harga hasil produksi mereka jauh lebih tinggi ketimbang harga tapioka impor. Bahkan kalah bersaing dengan tapioka yang dihasilkan produsen dari provinsi lain," paparnya.
Ia menerangkan, saat ini Provinsi Lampung menyumbang 70 persen produksi tapioka nasional, namun kalah bersaing dengan produk yang berasal dari Medan, Bangka, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
"Kami memohon kepada kementerian terkait agar tidak menganggap sepele persoalan ini. Harapan saya dan petani Lampung harga kesepakatan dapat dijalankan dan berlaku nasional," tegas Mikdar.
Sementara itu Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, menegaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan seluruh bupati dan walikota se-Lampung untuk memperkuat hilirisasi komoditas strategis seperti singkong.
Menurut Mirzani, hilirisasi tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan kemandirian industri di tingkat daerah.
"Kami menargetkan hilirisasi dilakukan hingga ke tingkat desa agar menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai produk. Ini juga bagian dari mendukung Asta Cita kelima Pemerintah Prabowo-Rakabuming," kata Mirzani.
Ia menyebut, selama ini industri singkong di Lampung hanya terfokus pada produksi tapioka, sehingga menciptakan kondisi oligopoli yang tidak menguntungkan petani.
Menurutnya, Lampung masih menjadi provinsi dengan produksi ubi kayu tertinggi di Indonesia, menyumbang 39 persen dari total produksi nasional, dengan volume mencapai 6,7 juta ton.
Kabupaten Lampung Tengah menjadi daerah dengan panen ubi kayu terbesar, yakni seluas 77.038 hektar.
"Jika pemerintah pusat menetapkan harga nasional dan mendukung hilirisasi, maka harga singkong akan stabil, petani sejahtera, dan industri lokal dapat bersaing di pasar nasional," kata Mirzani. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Jumat 02 Mei 2025, dengan judul “Pemprov-DPRD Lampung Tuntut Kepastian Harga Singkong dari Pemerintah Pusat”