Berdikari.co, Bandar Lampung - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung, Nur
Rakhman Yusuf, menilai menurunnya jumlah penerima PKH bisa menjadi indikator
membaiknya kesejahteraan masyarakat.
Ia
menyebut sebagian warga mulai menunjukkan kesadaran untuk mengundurkan diri
dari daftar penerima PKH ketika kondisi ekonomi mereka telah membaik.
“Bisa
jadi memang ada penurunan angka kemiskinan di Lampung. Harus disyukuri juga ada
kesadaran bagi penerima manfaat ketika mereka sudah mampu mau keluar dari PKH,
supaya memberikan kesempatan bagi yang lain yang memang belum dapat,” kata Nur
Rakhman, Senin (17/11/2025).
Meski
begitu, Nur Rakhman menekankan pentingnya pendampingan lanjutan bagi KPM yang
dinyatakan lulus dari PKH. Menurutnya, bantuan peningkatan kapasitas dan
pendampingan usaha perlu diberikan agar mereka mampu mempertahankan bahkan
meningkatkan taraf hidup.
“Kita
berharap ada pendampingan bagi yang sudah lulus PKH agar dapat meningkatkan
taraf ekonomi ataupun usahanya,” ujarnya.
Ia
menambahkan, tren positif ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah
daerah untuk memperluas program pemberdayaan ekonomi, memastikan keluarga yang
keluar dari PKH benar-benar mandiri, serta membuka ruang bagi masyarakat lain
yang lebih membutuhkan bantuan sosial.
Sementara
itu, Anggota Komisi V DPRD Lampung, Andika Wibawa, menyambut baik tren
penurunan jumlah KPM PKH di Lampung yang dinilai menggambarkan adanya perbaikan
ekonomi masyarakat. Namun ia menekankan bahwa proses pengurangan maupun
penetapan penerima PKH harus benar-benar tepat sasaran.
“Kalau
memang ada pengurangan PKH setiap tahun, artinya geliat ekonomi dan pendapatan
masyarakat semakin membaik. Tapi selama reses, banyak masyarakat mengeluhkan
penerima bantuan yang tidak tepat sasaran,” ujar Andika, Senin (17/11/2025).
Ia
menyoroti masih ditemukannya warga kurang mampu yang belum pernah menerima
bantuan sosial, sementara ada penerima yang kondisi ekonominya sudah membaik
tetapi tetap terdaftar sebagai penerima PKH.
“Pendataan
ini perlu dilakukan secara serius. Kadang datanya kurang update. Bahkan ada
kasus orang sudah meninggal masih menerima bantuan, sementara masyarakat yang
benar-benar membutuhkan tidak dapat,” katanya.
Andika
menegaskan, pendataan PKH lazimnya dilakukan pemerintah pusat berdasarkan
usulan dari daerah. Namun di lapangan sering terjadi ketidaksesuaian akibat
survei dan komunikasi dengan pamong yang dinilai kurang maksimal.
“Yang
tahu kondisi masyarakat itu kan pamong. Tapi tim survei kadang jarang
berkoordinasi. Banyak warga tidak mampu yang tidak terdata, baik PKH, BLT
maupun bantuan beras,” tegasnya.
Menurut
Andika, di era digitalisasi saat ini, keakuratan data menjadi kunci agar bansos
benar-benar tepat sasaran. Ia juga mengingatkan bahwa meskipun data menunjukkan
perbaikan ekonomi, kondisi riil di banyak wilayah masih berat.
“Kita
tidak ingin bantuan PKH dicabut begitu saja. Kalau dicabut karena
perekonomiannya membaik, itu bagus. Tapi jangan sampai pencabutannya hanya
karena data yang tidak akurat,” jelasnya.
Andika
mengungkapkan, banyak aduan masyarakat yang menuding pamong sebagai pihak yang
menentukan penerima bansos. Padahal, menurutnya, pamong hanya mengusulkan sementara
keputusan akhir berada di pemerintah pusat.
“Banyak
masyarakat menyalahkan pamong karena penerima bantuan dianggap hanya dari
keluarga pamong. Padahal pemutakhiran data bukan di pamong. Ini harus
diluruskan,” tegasnya.
Ia
berharap perbaikan data penerima bansos, baik PKH, BLT, bantuan beras hingga
KIP, dilakukan secara berkala dan menyeluruh.
“Yang
penting pendataan harus benar-benar update, jangan memakai data lama. Masih
banyak masyarakat yang membutuhkan bansos, jadi prosesnya harus akurat dan
tepat sasaran,” pungkasnya. (*)

berdikari









