Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum
Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai temuan 32
pertambangan tanpa izin (PETI) di Lampung oleh Bareskrim Polri menjadi bukti
nyata bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan belum
berjalan efektif.
Menurut Benny, tambang tanpa izin bukan sekadar
pelanggaran administratif, melainkan kejahatan yang berdampak langsung terhadap
kerusakan lingkungan, hilangnya potensi pendapatan negara, serta ancaman
keselamatan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
“Temuan Bareskrim Polri ini menunjukkan lemahnya
sistem pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Penindakan hukum
seharusnya tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi juga harus
memulihkan keadilan sosial dan ekologis,” kata Benny, Sabtu (18/10/2025).
Ia menegaskan, maraknya aktivitas tambang ilegal tidak
bisa dilepaskan dari dua faktor utama, yakni lemahnya pengawasan pemerintah
daerah dan minimnya penegakan hukum.
“Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar sesuai
amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Namun fakta adanya 32
PETI menunjukkan fungsi pengawasan itu tidak berjalan optimal,” ujarnya.
Benny mengungkapkan, lemahnya koordinasi antarinstansi
serta sikap reaktif aparat dalam menindak pelanggaran juga memperburuk situasi.
Kondisi tersebut membuka ruang terjadinya praktik backing atau
perlindungan terhadap tambang ilegal.
“Jika benar ada keterlibatan oknum aparat dalam
membekingi aktivitas tambang ilegal, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001,” tegasnya.
Benny menilai, bentuk penyalahgunaan wewenang semacam
itu merupakan pengkhianatan terhadap mandat sosial hukum dan mencederai
kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Ia menekankan, pemerintah daerah dan aparat penegak
hukum seharusnya tidak hanya menunggu laporan masyarakat, melainkan aktif
melakukan pengawasan partisipatif dengan melibatkan unsur publik, media, dan
lembaga independen.
“Model penegakan hukum progresif menuntut adanya
kolaborasi antara aparat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat sipil.
Langkah ini penting untuk menutup ruang kongkalikong dalam perizinan tambang,”
jelasnya.
Menurut Benny, aturan hukum yang ada sebenarnya sudah
cukup kuat untuk menjerat pelaku tambang ilegal. Pasal 158 Undang-Undang
Minerba dengan tegas menyebutkan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda
maksimal Rp100 miliar bagi siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin.
Namun, lanjut dia, kelemahan justru terletak pada
implementasi dan keberanian aparat menegakkan hukum secara konsisten. “Celahnya
bukan di aturan, tapi di pelaksanaannya. Dalam praktik hukum progresif,
kekuatan hukum diukur dari keberanian menegakkannya,” ungkap Benny.
Sebagai langkah konkret, Benny merekomendasikan
pemerintah daerah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di
Lampung, membentuk tim independen pengawasan yang melibatkan akademisi dan
masyarakat sipil, serta membuka akses publik terhadap proses hukum yang
berjalan.
“Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak
tebang pilih akan menjadi bukti bahwa hukum berdiri untuk keadilan sosial dan
keberlanjutan lingkungan, bukan tunduk pada kepentingan ekonomi,” pungkas
Benny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, mempertanyakan
langkah aparat penegak hukum dalam menangani tambang ilegal.
“Kalau sudah ada datanya, seharusnya tidak dibiarkan
begitu saja. Kan sudah tahu lokasinya, seharusnya segera ditindak,” ujar Irfan,
Minggu (19/10/2025).
Menurut Irfan, sebanyak 32 tambang ilegal itu tersebar
di Kabupaten Way Kanan, Bandar Lampung, dan Kabupaten Lampung Timur. Ia menilai
hingga saat ini belum ada keseriusan berkelanjutan dari aparat penegak hukum
maupun pemerintah daerah dalam menindak aktivitas tambang ilegal tersebut.
Irfan menambahkan, aparat penegak hukum dan pemerintah
dapat berinisiatif membentuk tim khusus pemberantasan tambang ilegal agar
penindakan bisa berjalan lebih terkoordinasi dan menyeluruh.
“Baik kepolisian, kejaksaan, maupun pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota belum menunjukkan upaya yang efektif. Padahal
aktivitas tambang ilegal jelas merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,”
tegas Irfan. (*)