Kupastuntas.co, Tanggamus - Suara berisik roda troli dan riuh tawar-menawar yang dulu menjadi nyawa Pasar Kotaagung kini tinggal kenangan.
Di antara deretan kios dengan rolling door tertutup rapat, hanya segelintir pedagang yang masih setia membuka lapaknya, menunggu pembeli yang datang hitungan jari.
Pada Kamis (2/10/2025) siang, suasana pasar tampak lengang. Beberapa kios kosong bahkan sudah tak lagi menyisakan etalase dagangan. Lorong-lorong yang dulu padat pembeli kini seakan kehilangan denyutnya.
"Dulu ramai sekali, orang berdesakan cari kebutuhan pokok. Sekarang paling cuma satu-dua yang mampir. Dari ratusan toko, sekitar 25 persen sudah tutup. Banyak pedagang menyerah karena biaya jalan terus, pembeli makin jarang datang,” tutur Nur, pedagang kebutuhan pokok yang sudah 15 tahun lebih menggantungkan hidupnya di pasar itu.
Tami, pedagang pakaian, menambahkan bahwa masa sulit ini mulai terasa sejak pandemi Covid-19.
Menurutnya, pandemi menjadi titik balik penurunan pasar tradisional, ditambah derasnya arus belanja daring yang menawarkan harga murah dan aneka promo.
"Orang lebih memilih belanja lewat ponsel. Akhirnya banyak pedagang gulung tikar. Saya masih bertahan, tapi omzet jauh sekali turun,” keluhnya.
Fenomena ini tak hanya menghantui Pasar Kotaagung. Pasar Gisting dan Pasar Talangpadang di Tanggamus juga mengalami hal serupa.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat perlambatan konsumsi rumah tangga sejak awal 2025, diperparah oleh naiknya harga kebutuhan pokok yang membuat masyarakat lebih selektif membelanjakan uangnya.
Di sisi lain, perubahan pola konsumsi ke e-commerce membuat posisi pasar tradisional makin terdesak. Padahal bagi banyak keluarga, pasar inilah sumber utama nafkah sehari-hari.
"Kalau pasar mati, sama saja mematikan ekonomi rakyat kecil,” ungkap Tami lirih.
Herman, tokoh masyarakat Kotaagung, menilai pemerintah daerah harus segera turun tangan.
Menurutnya, kebijakan nyata seperti subsidi modal, keringanan biaya sewa, hingga pelatihan digital bagi pedagang dapat menjadi penyelamat.
"Pedagang perlu dukungan untuk beradaptasi. Kalau dibiarkan, pasar ini bisa jadi semakin sepi,” katanya.
Kini, wajah Pasar Kotaagung bagaikan buku terbuka tentang kejayaan yang meredup. Ratusan kios yang dulu hidup, sebagian kini hanya menyisakan pintu besi yang terkunci.
Namun di balik kesunyian itu, masih ada pedagang yang memilih bertahan, menggenggam harapan bahwa suatu hari pasar kembali ramai, dan suara tawar-menawar kembali bergema di lorong-lorongnya. (*)