Berdikari.co, Metro - Di tengah dimulainya musim tanam ketiga padi, para petani di Kota Metro kembali dihadapkan pada ancaman serius: serangan hama tikus. Untuk mengantisipasi ledakan populasi hewan pengerat tersebut, pemerintah bersama petani mengandalkan cara tradisional yang sudah terbukti ampuh, yakni gropyokan tikus.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Metro, Heri Wiratno, menjelaskan bahwa minimnya jeda tanam membuat hama tikus semakin sulit dikendalikan. Pasalnya, persediaan makanan di sawah selalu ada sepanjang tahun.
“Untuk kendala musim tanam kali ini memang hama tikus. Karena tidak ada jeda makan, mereka selalu berkembang biak. Jadi petani harus lebih fokus mengantisipasi,” kata Heri di Metro Selatan, Kamis (2/10/2025).
Gotong Royong Hadang Hama
Sebagai langkah bersama, Pemkot Metro mendorong gerakan gropyokan yang melibatkan kelompok tani, camat, hingga lurah. Gerakan ini dilakukan serentak di berbagai wilayah persawahan, agar pengendalian hama lebih efektif.
“Camat dan lurah sudah menggerakkan Gapoktan untuk melakukan gropyokan. Kami juga sudah menyiapkan belerang yang bisa dimanfaatkan petani secara gratis,” jelasnya.
Belerang tersebut dapat digunakan untuk mengasap lubang tikus dengan cara tradisional, sehingga lebih ramah biaya dan meminimalisir penggunaan bahan kimia.
Musim Tanam Ketiga Dimulai
Hingga awal Oktober, tercatat sudah ada sekitar 500 hektare sawah yang ditanami dari total 2.588 hektare lahan pertanian di Kota Metro. Pemerintah menargetkan seluruh areal selesai ditanami pada akhir Oktober.
Sementara itu, ketersediaan air irigasi dari Dam Argoguruh dipastikan mencukupi meski dengan sistem gilir seminggu sekali. Langkah ini dilakukan agar distribusi air lebih merata dan efisien.
Harapan Petani
Dengan produktivitas yang stabil, Metro diharapkan mampu menjaga ketersediaan beras lokal sekaligus menjadi penopang pangan bagi daerah sekitar seperti Lampung Tengah.
“Kalau petani bersama-sama melakukan pengendalian, ancaman hama bisa ditekan. Harapannya musim tanam kali ini berhasil, dan hasil panen maksimal,” tandas Heri.
Bagi petani, gropyokan bukan hanya tradisi turun-temurun, melainkan bentuk nyata semangat gotong royong untuk melindungi lahan mereka. Sebab, menjaga sawah berarti menjaga ketahanan pangan keluarga dan masyarakat luas. (*)