Berdikari.co, Bandar Lampung - Antrean truk untuk membeli solar hingga kini masih terjadi di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Provinsi Lampung.
Menanggapi fenomena ini, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (Unila) sekaligus Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Lampung, Usep Syaipudin, mengatakan persoalan ini terjadi karena beberapa faktor mendasar yang sudah lama menjadi sorotan.
“Pertama, ketersediaan stok yang terbatas karena kuota solar subsidi diatur ketat oleh pemerintah. Kedua, adanya dugaan penimbunan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab demi meraup keuntungan,” kata Usep, Rabu (6/8/2025).
“Ketika pasokan terbatas dan permintaan tinggi, maka celah penyimpangan semakin terbuka. Penimbunan bisa terjadi, apalagi kalau pengawasan di lapangan lemah,” lanjut Usep.
Ia juga menyoroti adanya perbedaan harga yang terlalu besar antara solar subsidi dan non subsidi. Menurutnya, disparitas harga ini menjadi pemicu utama konsumen memilih subsidi, sekalipun mereka tidak berhak.
"Perbedaan harga antara BBM subsidi dengan non subsidi yang terlalu besar juga menyebabkan konsumen enggan menggunakan BBM non subsidi. Hal ini juga dapat memicu terjadinya penyimpanan penggunaan BBM subsidi oleh oknum untuk mengambil keuntungan," jelasnya.
Menurut Usep, Pertamina telah menerapkan sistem pembelian solar subsidi berbasis QR Code, namun perlu diiringi dengan pengawasan lapangan dan penindakan hukum yang tegas terhadap praktik penimbunan dan pemalsuan identitas kendaraan.
"Pertamina dan aparat penegak hukum perlu melakukan pengawasan dan penindakan terhadap praktik penimbunan BBM subsidi ilegal," ungkapnya.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Unila lainnya, Nairobi, menilai banyaknya antrean truk untuk membeli solar di SPBU disebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan, serta kinerja distribusi dan pengawasan yang belum optimal.
“Permintaan meningkat namun kuota yang disalurkan pemerintah melalui Pertamina belum tentu mencukupi kebutuhan riil, apalagi di daerah-daerah dengan medan geografis yang menantang,” kata Nairobi, baru-baru ini.
Ia mencontohkan, wilayah seperti Tanggamus dan Pesisir Barat, yang kerap mengalami keterlambatan pasokan karena infrastruktur jalan yang belum memadai. Ketergantungan pada kilang utama seperti Kilang Cilacap juga membuat distribusi BBM rentan terganggu jika ada masalah teknis.
Lebih lanjut, Nairobi menyoroti masalah ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran solar subsidi.
Menurutnya, banyak kendaraan non-prioritas seperti truk tambang dan generator industri yang turut menikmati subsidi, sehingga mengurangi alokasi bagi nelayan dan petani yang seharusnya menjadi penerima utama.
“Celakanya, lemahnya verifikasi di lapangan membuat kendaraan yang tak berhak tetap bisa mendapatkan solar subsidi. Bahkan, ada indikasi penimbunan untuk dijual kembali di pasar gelap dengan harga lebih tinggi,” tegasnya.
Faktor eksternal juga turut memperburuk situasi, seperti kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah, yang mendorong pemerintah melakukan pembatasan subsidi demi menjaga stabilitas fiskal.
Nairobi juga memperingatkan kondisi ini bisa berdampak luas terhadap perekonomian daerah. Jika berlarut, kondisi ini dapat memicu kenaikan harga komoditas dan inflasi lokal di sejumlah kabupaten/kota di Lampung.
“Kalau ini terus dibiarkan, bisa mengganggu rantai pasok dan menekan daya beli masyarakat. Pemerintah harus segera memperbaiki sistem distribusi dan memperketat pengawasan BBM subsidi,” tandasnya. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 07 Agustus 2025 dengan judul "Usep Syaipudin: Selisih Harga Picu Penyimpangan”