Berdikari.co, Bandar Lampung - Provinsi Lampung kembali masuk dalam daftar sepuluh besar provinsi termiskin di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, Lampung menempati peringkat ke-7 nasional dengan persentase penduduk miskin yang masih tinggi.
Menanggapi hal tersebut, pengamat sosial dari Universitas Lampung (Unila), Arif Sugiono, menyebut bahwa persoalan kemiskinan di Lampung sebenarnya bukan hal baru.
Menurutnya, kondisi ini telah berlangsung lama dan tidak menunjukkan perbaikan yang berarti dalam lima tahun terakhir.
"Kita mendapatkan bahwa tingkat kemiskinan di Lampung itu masih tinggi. Itu sebenarnya memang sudah data lama, tidak ada pergerakan yang signifikan selama tiga sampai lima tahun ke belakang,” ujar Arif saat dimintai tanggapan melalui WhatsApp, Senin (4/8/2025).
Ia menjelaskan, salah satu penyebab utama stagnasi tersebut adalah tidak berimbangnya antara ketersediaan lapangan pekerjaan dengan jumlah pencari kerja. Banyak masyarakat masih kesulitan mendapatkan pekerjaan karena daya tampung sektor formal yang terbatas.
Selain itu, Arif menyoroti ketidaksesuaian antara jenis lapangan kerja yang tersedia dengan potensi unggulan daerah.
Ia mencontohkan, meskipun Lampung dikenal sebagai provinsi agraris, namun sumber daya manusianya belum sepenuhnya mendukung sektor pertanian. Akibatnya, sektor unggulan ini tidak berkembang optimal dalam menyerap tenaga kerja lokal.
Faktor lain yang turut memperburuk situasi adalah rendahnya upah minimum kabupaten dan kota yang belum sejalan dengan kebutuhan hidup layak masyarakat.
Ia juga menilai, pendapatan masyarakat di banyak wilayah di Lampung masih jauh di bawah garis yang memungkinkan untuk hidup sejahtera.
"Artinya, jika tiga hal itu bisa diakselerasi dan dicarikan solusinya, insyaallah akan berdampak positif terhadap angka kemiskinan di Lampung,” katanya.
Terkait program bantuan sosial, Arif mengapresiasi upaya pemerintah yang dinilainya cukup kreatif. Namun, ia mengingatkan bahwa efektivitas bantuan harus terus dievaluasi. Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bantuan tidak hanya berhenti pada aspek konsumtif, tetapi benar-benar berdampak pada pengentasan kemiskinan.
"Apakah bantuan itu tepat sasaran? Jangan-jangan hanya habis untuk hal-hal yang tidak produktif. Maka dari itu, perbaikan data secara nasional menjadi penting dan memerlukan sinergi antara pemerintah desa sampai pusat agar data benar-benar valid,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pelatihan kerja yang selaras dengan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Menurutnya, banyak pelatihan yang dilakukan tidak relevan dengan kondisi dan kebutuhan di Lampung, sehingga hasilnya tidak dapat diserap secara maksimal oleh industri atau sektor ekonomi yang ada.
Lebih jauh, Arif mendorong pemerintah untuk mulai mempertimbangkan strategi penyiapan tenaga kerja migran ke luar negeri.
Ia melihat peluang besar di beberapa negara yang mengalami fenomena penurunan jumlah penduduk usia produktif dan membutuhkan tenaga kerja asing.
"Di satu sisi, mungkin di Indonesia kelebihan tenaga kerja, tetapi lapangan kerja terbatas. Sementara di luar negeri, terutama negara-negara dengan aging population, justru kekurangan tenaga kerja. Ini bisa menjadi peluang jika pemerintah mampu menyiapkan skema dan pelatihan yang tepat,” pungkasnya.
Sementara Akademisi Ekonomi dari Universitas Lampung (Unila), Usep Syaipudin, menilai kemiskinan di Lampung bersifat multi-dimensional dan tidak bisa diselesaikan dengan satu program saja.
Ia menekankan pentingnya transformasi struktural, pemerataan pembangunan antarwilayah, serta sinergi antara sektor pertanian, industri, dan pariwisata.
"Salah satu akar persoalan kemiskinan di Lampung adalah ketimpangan distribusi pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, " ujarnya, saat dikonfirmasi, Senin (4/8/2025).
Pembangunan yang cenderung terpusat di perkotaan menyebabkan masyarakat di desa tertinggal secara akses dan infrastruktur.
"Ketimpangan akses ekonomi ini berdampak pada rendahnya produktivitas di pedesaan. Sebagian besar penduduk miskin di Lampung bekerja di sektor informal seperti buruh tani, nelayan, atau pekerja tanpa kontrak tetap yang penghasilannya fluktuatif dan rentan terhadap guncangan ekonomi," jelas Usep.
Ia juga menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan memperkuat keterbatasan mobilitas sosial masyarakat miskin.
Untuk menanggulangi kemiskinan, Usep mendorong optimalisasi tiga sektor strategis, pertama pertanian yang oerlu transformasi dari sistem tradisional ke pertanian modern berbasis teknologi (smart farming) dan penguatan agroindustri lokal agar pendapatan petani meningkat.
Selanjutnya, industri Lampung memiliki potensi besar di industri pengolahan hasil pertanian seperti kopi, singkong, kakao dan nanas.
"Pembangunan pabrik dekat sentra produksi dapat menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan nilai tambah, " ungkapnya.
Kemudian pariwisata, dimana wisata bahari seperti Pulau Pahawang dan Teluk Kiluan, serta kekayaan budaya dan kuliner, dapat dikembangkan secara inklusif melalui desa wisata dan pelibatan UKM lokal.
Sementara untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan di Lampung, Usep merekomendasikan beberapa langkah kebijakan yakni penguatan Infrastruktur dan Konektivitas.
"Prioritaskan pembangunan jalan, jembatan, serta akses internet ke daerah tertinggal, dan bangun pusat ekonomi baru di luar Bandar Lampung, " jelasnya.
Lalu transformasi Ekonomi Pedesaan, kembangkan sentra agroindustri berbasis komoditas unggulan serta dorong pembentukan koperasi tani dan UMKM agro.
Peningkatan SDM, dimana sediakan pelatihan vokasi dan inkubasi bisnis bagi masyarakat miskin, terutama perempuan dan pemuda desa, melalui kolaborasi antara pemda, BUMN/D dan perguruan tinggi.
Kemudian pengembangan pariwisata berkelanjutan, yaitu berikan insentif bagi desa wisata dan pelaku UMKM sektor pariwisata, serta tingkatkan promosi dan aksesibilitas destinasi unggulan.
“Tanpa intervensi serius dan lintas sektor, angka kemiskinan di Lampung akan sulit ditekan secara signifikan," tandasnya. (*)