Berdikari.co, Bandar Lampung - DPRD Provinsi Lampung meminta pengadaan obat
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Lampung jangan sembarangan.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Andika Wibawa, mengatakan sudah ada
sejumlah aturan yang ketat mengatur proses ini mulai dari keharusan perusahaan
penyedia memiliki izin resmi dan terdaftar dalam e-Katalog LKPP.
"Itu sudah ada aturan yang mengaturnya, jadi tidak bisa sembarangan.
Perusahaannya juga harus ada izin ada e-katalog," kata Andika, pada Kamis
(8/5/2025).
Ia mengingatkan, distribusi obat harus dipastikan tepat sasaran, apakah
akan didistribusikan kepada kabupaten/kota atau puskesmas.
"Obat yang dibeli harus jelas diperuntukkan untuk siapa, apakah untuk
kabupaten/kota, puskesmas, atau langsung ke Dinas Kesehatan. Jangan sampai
salah sasaran," ungkapnya.
Selain itu, ia meminta Dinas Kesehatan harus jeli dalam memilih obat,
mengingat banyak faktor yang harus diperhatikan seperti kualitas, kandungan zat
aktif (miligram), dan masa kadaluarsa.
"Dinkes juga harus jeli dalam memilih obatnya, karena banyak faktor
yang bisa mempengaruhi kualitasnya. Pengadaan obat harus dapat benar-benar
bermanfaat untuk masyarakat," ujarnya.
Ia mengungkapkan, obat yang masa kadaluarsanya masih lama biasanya memiliki
harga lebih tinggi. Hal ini sebanding dengan manfaat dan keamanan penggunaannya
bagi masyarakat.
Ia menegaskan, pentingnya ketelitian dalam proses pengadaan agar obat yang
dibeli benar-benar bermanfaat dan aman untuk masyarakat.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti pengadaan barang
dan jasa (PBJ) sebagai salah satu sektor paling rentan terhadap praktik korupsi
berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyebut
bahwa sektor PBJ mendominasi praktik suap dan gratifikasi di
kementerian/lembaga serta pemerintah daerah (K/L/PD).
“Risiko penyalahgunaan dalam pengelolaan PBJ mencapai 97% di
kementerian/lembaga dan 99% di pemerintah daerah. Temuan ini berdasarkan
jawaban dari 53% responden internal yang mengakui adanya penyalahgunaan di
sektor ini,” ungkap Pahala, pada Rabu (22/1/2025).
Pahala juga memaparkan berbagai temuan SPI dalam pengelolaan PBJ, di
antaranya 49% pemilihan pemenang vendor yang sudah diatur semakin banyak; 56%
kualitas barang tidak sesuai dengan harga PBJ; dan 38% hasil pengadaan tidak
memberikan manfaat.
Kemuidian, 71% tindakan nepotisme meningkat semakin drastis dan ditemui 46%
gratifikasi dari pemberian vendor ke penyelenggara negara dalam proses PBJ.
“Walaupun KPK telah mendorong digitalisasi PBJ di K/L/PD, praktik korupsi
dalam pengelolaan PBJ masih meluas dan semakin rentan di berbagai area. Oleh
karena itu, perbaikan menyeluruh pada sektor ini perlu dilakukan untuk
menciptakan transparansi dan akuntabilitas,” tegas Pahala.
Hasil SPI 2024 juga mengungkapkan adanya praktik hubungan kekerabatan dan
kolusi dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Sebanyak 9% responden di seluruh KLPD mengungkapkan bahwa pemenang
pengadaan seringkali memiliki hubungan dekat dengan penyelenggara negara.
Praktik ini, menurut Pahala, merusak prinsip keadilan, efisiensi, dan
profesionalisme.
“Korupsi di sektor PBJ secara langsung mendegradasi kualitas pelaksanaan
keuangan negara. Pemerintah, sebagai pengguna anggaran, harus memastikan
pengelolaan anggaran dilakukan secara optimal untuk mendukung pembangunan
nasional. Digitalisasi sistem pengadaan PBJ yang sudah berjalan diharapkan
dapat mewujudkan reformasi birokrasi dan memberikan dampak positif bagi
perekonomian masyarakat,” kata Pahala.
Menurut Pahala, area PBJ harus menjadi fokus utama perbaikan, mengingat
dampaknya yang signifikan terhadap integritas keuangan negara dan efektivitas
pembangunan nasional. (*)