Berdikari.co, Lampung Timur - Di sebuah desa kecil di Kecamatan Labuhanratu, Lampung Timur, di halaman belakang pabrik pengolahan singkong, tumpukan onggok setinggi lutut orang dewasa terhampar luas.
Aroma tak sedap menyengat hidung, tetapi bagi sebagian warga, ini bukanlah penghalang. Tumpukan limbah singkong ini adalah sumber penghidupan.
Onggok adalah residu pengolahan singkong menjadi tepung tapioka, mengandung sisa pati yang tidak larut dalam air. Meski dianggap limbah, bahan ini memiliki nilai ekonomi sebagai pakan ternak. Di sinilah Joko (40), bersama beberapa warga lainnya, bekerja setiap hari tanpa libur.
“Cari rezekinya bisanya cuma buruh, Mas. Walau bau, ya terpaksa dilakoni saja. Buruh mengumpulkan onggok kan tidak perlu ijazah, tidak perlu syarat yang aneh-aneh, yang penting tahan dengan baunya,” ucap Joko sambil cekatan memasukkan onggok ke dalam karung ukuran 50 kilogram pada Rabu (11/12/2024).
Dengan bermodalkan tenaga, karung, dan alat penyedot sederhana, Joko mampu mengumpulkan hingga 40 karung onggok dalam sehari. Hasilnya, ia mendapatkan penghasilan sekitar Rp80 ribu per hari.
“Setiap karung onggok seberat 50 kg dihargai Rp2 ribu oleh pengepul. Walaupun kecil, ya cukup buat kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.
Tidak jauh dari lokasi pembuangan, Aris (45), seorang pengepul onggok, juga menjalankan usahanya. Sudah belasan tahun ia membeli onggok dari para pengumpul untuk dijual kepada peternak sapi.
Dalam sehari, Aris bisa mengumpulkan hingga 200 karung onggok. Dengan harga jual Rp10 ribu per karung, Aris mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp5 ribu per karung setelah memotong biaya operasional.
“Rata-rata pekerja saya bisa mengumpulkan 40 karung per hari. Kalau ada lima pekerja, saya harus mengeluarkan biaya Rp400 ribu untuk upah mereka,” jelas Aris.
Aris tidak hanya menjadi pengepul, tetapi juga distributor. Ia memastikan pesanan onggok yang mencapai 150 karung per hari sampai ke pelanggan yang mayoritas adalah peternak sapi di sekitar Lampung Timur.
Di sisi lain, limbah ini menjadi solusi bagi pelaku usaha peternakan. Pingi (35), seorang peternak sapi, menggunakan onggok sebagai pakan pendamping rumput.
Dengan 15 ekor sapi yang ia pelihara, kombinasi onggok, rumput, dan bahan pakan lain membantu menekan biaya pemeliharaan.
“Kalau sapinya cuma dua ekor masih bisa cukup dengan rumput saja. Tapi kalau lebih, harus pakai campuran seperti onggok. Ini murah dan cukup bagus untuk pencernaan sapi,” katanya.
Pekerjaan mengumpulkan onggok mungkin tidak glamor. Namun, bagi Joko, Aris, dan banyak orang lainnya, ini adalah bukti bagaimana limbah yang terabaikan dapat menjadi berkah.
Dengan semangat dan kerja keras, mereka menghidupi keluarga, meskipun harus bertahan di tengah bau menyengat dan lingkungan yang kurang bersahabat.
“Ini bukan pekerjaan yang mudah. Tapi daripada menganggur, saya syukuri saja. Setidaknya anak-anak saya tetap bisa sekolah,” tutup Joko dengan senyum penuh keikhlasan. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 12 Desember 2024, dengan judul "Pengumpul Limbah Singkong Bekerja di Tengah Bau untuk Menghidupi Keluarga"